Senin, 12 September 2011

SEKOLAH MAHAL TETAPI GRATIS


Sekolah mahal tetapi gratis? Suatu paradox yang amat menggelisahkan. Adakah sekolah yang mahal tetapi gratis? Kalau sekolah mahal, banyak. Sekolah gratis ada juga dengan segala interpretasinya. Tetapi sekolah mahal tetapi gratis, adakah? 

Tulisan ini terinspirasi dari banyaknya pihak yang mempunyai keinginan beragam tentang sekolah. Ada yang ingin sekolah mahal, yang penting kualitasnya membanggakan dan dapat menjamin mutu sesuai harapan mereka. Ada yang ingin sekolah murah, bahkan banyak yang ingin sekolah gratis.

Pada awalnya, sekolah mahal dipicu oleh  kegamangan sebahagian masyarakat tentang kualitas sekolah. Beberapa lembaga kemudian menawarkan berbagai format persekolahan yang menjanjikan kualitas dengan berbagai istilah. Sekolah-sekolah ini menawarkan format dan pendekatan baru persekolahan seperti sekolah unggulan, sekolah plus, sekolah standar nasional, sekolah bertarap internasional, dan sekolah waralaba yang tampil serba gemerlap dengan fasilitas mewah, dan program kegiatan yang luar biasa canggihnya. Sekolah yang tampil mewah dan mempesona ini, tidak bisa tidak, membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga mempertegas betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraan sekolah yang berkualitas.
Sekolah mahal seyogyanya menunjang pencapaian mutu. Sekolah yang menunjang pencapaian mutu adalah sekolah yang tidak hanya memiliki guru yang cukup, baik kuantitas maupun kualitasnya, tapi juga menyediakan sarana dan fasilitas pendukung pembelajaran yang cukup seperti ruang belajar, bahan ajar, ruang praktikum, laboratorium, perpustakaan, media pembelajaran. Dan sudah pasti, ini memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Seorang guru, misalnya, yang diharapkan mampu memfasilitasi proses pembelajaran secara baik membutuhkan anggaran untuk pengadaan fasilitas pendukung peforma mengajarnya, seperti buku referensi, laptop, LCD projector, software untuk dapat mengakses internet, dan lain-lain. Tentu saja kita tidak boleh menuntut guru untuk memaksimalkan dedikasi, komitmen, dan profesionalitasnya dalam melaksanakan tugasnya jika sarana dan fasilitas pendukung peformanya tidak terpenuhi. Dan di Era Digital ini sarana dan fasilitas itu harus berbasis Information and Communication Technology (ICT). Atau sekolah dengan sarana dan fasilitas yang sesuai kebutuhan pembelajaran bagi generasi digital. Sekolah seperti ini pasti mahal, tidak bisa murah. 

Kita sepakat bahwa biaya sekolah yang berkualitas itu memang mahal. Tapi kitapun tidak ingin mengabaikan hak bersekolah orang miskin. Maka muncul pemikiran bahwa beban pembiayaan yang mahal itu sebaiknya tidak dibebankan kepada peserta didik Oleh karenanya sejak 2009 Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional membuat suatu kebijakan yang amat popular dengan sebutan Sekolah Gratis. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia (propinsi/kabupaten/kota) banyak kepala daerah yang lebih dahulu mencanangkan program pendidikan gratis dengan menanggung pembiayaan untuk memenuhi beban anggaran penyelenggaraan sekolah. Kebijakan sekolah gratis ini adalah pembebasan biaya sekolah di tingkat SD dan SMP baik negeri maupun swasta (bahkan di beberapa kabupaten/kota, sampai tingkat SMA/SMK). Pemerintah memenej penyelenggaraan pendidikan itu agar setiap warga masyarakatnya (tak terkecuali si Beddu yang miskin atau Suharta yang kaya) mendapatkan haknya, memperoleh pendidikan yang layak. Dengan demikian. Semua orang (tidak peduli, kaya atau miskin) tidak akan kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan yang gratis. 

Bagaimanapun, sekolah gratis memiliki plus minus bagi terwujudnya cita-cita luhur dalam Undang-undang Dasar 1945 (…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…). Pada satu sisi dengan sekolah gratis seluruh anak bangsa mendapatkan haknya mengenyam pendidikan (tapi belum tentu layak dan bermutu). Kenyataannya, di beberapa daerah (kabupaten/kota), misalnya, karena keterbatasan dana, anggaran penyelenggaraan pendidikan yang disediakan pemerintah daerah tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan biaya yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Tidak cukup dana tersedia untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru. Terlebih, tidak ada anggaran tersedia untuk pengadaan fasilitas pendukung peforma mengajar guru, seperti buku referensi, laptop, LCD projector, software untuk dapat mengakses internet, dan lain-lain. Padahal dengan fasilitas pendukung performa ini akan mempengaruhi kulitas mengajar guru dan pada gilirannya meningkatkan mutu pendidikan.

Ide sangat menarik dari Philip Crosby dalam bukunya, Quality Is Free, bahwa mutu itu gratis. Semua hal yang membutuhkan uang adalah hal yang ‘tidak bermutu’. Untuk mewujudkan mutu, tandasnya, diperlukan langkah sistematis dan dilakukan dengan cara yang benar. Langkah pemborosan dalam system dapat dicegah jika institusi memiliki kemauan dan komitmen sebagai hal krusial dan perlu ada menuju mutu. Ide ini patut untuk dicermati dalam melihat kebijakan pendidikan gratis di beberapa daerah. Mana yang lebih berpeluang menunjang mutu: Apakah dana gratis untuk membebaskan biaya pendidikan bagi keluarga (miskin dan  kaya) atau apakah tidak sebaiknya dana gratis digunakan disamping untuk beasiswa bagi keluarga miskin, juga untuk memenuhi kebutuhan sarana dan fasilitas pendukung peningkatan mutu (sebagaimana fasilitas sekolah plus yang serba canggih dan kondusif untuk penyelenggaraan sekolah bagi generasi digital). Ini memang memerlukan pemikiran dan diskusi yang panjang.

Untuk mewujudkan sekolah yang bermutu, memang memerlukan biaya yang mahal. Tetapi sebahagian besar masyarakat kita juga sudah sangat menikmati ‘kehidupan’ sekolah gratis. Jadi, mereka memimpikan sekolah mahal tetapi gratis. Masalahnya, bisakah mimpi itu jadi kenyataan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar