Kamis, 20 Oktober 2011

GURUKU IDOLAKU


Setiap siswa punya guru idola. Ada yang mengidolakan gurunya karena guru itu cerdas. Ilmunya seperti mata air yang mengalir tanpa henti. Memberikan sebanyak-banyaknya ilmu dengan ikhlas, tanpa pamrih. Kehadirannya di kelas selalu dinanti dan membuat para siswa merasa belajar sangat menyenangkan. Ada kenikmatan tersendiri berada di kelas yang penuh keramahan dan senyum. Siswa yang lain mengidolakan gurunya karena guru itu simpatik, rendah hati, dan menebar senyum sambil menyapa dengan ramah. Gaya bicaranya selalu menyejukkan hati. Sabar ketika menemukan siswanya bandel. Ada pula yang mengidolakan gurunya karena guru itu memiliki keperibadian khas, unik. tegas tetapi rendah hati. Matanya bisa merah menyala dengan suara menggelegar ketika membela kebenaran. Tetapi air matanya bisa dengan mudah menetes tanpa malu ketika hatinya tersentuh.


Pertanyaannya adalah apakah Anda dan Saya termasuk salah satu guru yang berbahagia diidolakan oleh siswanya? Untuk menjawab ini, kita perlu selalu introspeksi dan mengevaluasi diri pada kelompok mana kita berada. LonAnne Johnson membagi guru menjadi tiga yaitu guru Super, guru Excellent, dan guru Good. Guru Super yaitu guru yang menikmati hubungan yang solid dengan muridnya. Pada saat menjalankan tugasnya, ia merasakan sensasi ketagihan kerja. Guru Excelent adalah guru yang menikmati pekerjaannya tetapi membatasi jumlah waktu dan energi yang dibaktikan untuk mengajar. Ia peduli dan melakukan yang terbaik bagi siswanya tetapi tidak melupakan, apalagi mengorbankan kebutuhan keluarga. Guru Good adalah guru yang bekerja baik tetapi memahami batasan tugasnya. Ia membuat batasan yang jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi.


Sementara itu, Rani Pardini mengemukakan tiga model guru yaitu guru Okupasional, guru Profesional, dan guru Vokasional. Guru Okupasional adalah guru yang menjalani profesinya hanya sekedarnya. Guru seperti ini tidak peduli dan tidak memperhatikan anak didiknya. Guru Profesional adalah guru yang memiliki tanggung jawab lebih dan memenuhi kualifikasi dan kompetensi sesuai standar yang dipersyaratkan undang-undang. Guru Vokasional adalah guru yang menjalani profesinya sebagai sebuah panggilan (calling) sehingga menjalani tugasnya dengan antusiasme, passion, dan penuh komitmen serta terus mengembangkan diri dan meningkatkan mutu profesinya.


Menurut Lina Erlian Muksin, Psikolog Anak, guru idola memiliki tiga hal yaitu head, heart, dan hand. Head berarti guru itu memiliki kompetensi, wawasan yang luas, dan innovasi. Heart berarti bahwa dalam menyampaikan pelajaran guru itu harus melayani dengan hati, selalu berempati, dan penuh kehangatan. Hand berarti guru itu memiliki keterbukaan, dan sifat humoris. Tulisan ini, maaf, tidak bermaksud menggurui para guru. Saya yakin bahwa para guru Indonesia sangat memahami tugas dan tanggung jawabnya. Semua yang dikemukakan di atas sebenarnya sudah sangat akrab dan telah dipahami oleh para guru. Tetapi seperti kata A.L. Huxley: ‘Hidup yang besar bukanlah pengetahuan melainkan perbuatan’. Di Era generasi Digital ini hanya ada satu tantangan yang harus didobrak oleh para guru Indonesia yaitu kemauan. Kemauan untuk berubah dan bertindak..


Pesatnya arus globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut perubahan sikap dan pola pikir pelaku pendidikan, terutama guru Indonesia. Knowledge to elevate, begitu tulisan yang tertera di bawah logo MetroTV yang selalu menggoda perhatian saya dan seharusnya menggoda guru untuk tergerak dan tidak sekedar berdiri di atas elevator, tetapi berlari cepat agar tidak tertinggal jauh dari iptek. Kita harus selalu mau berubah. Kurikulum berubah mengikuti perubahan zaman. Model pembelajaran harus berubah mengikuti tuntutan generasi kritis yang selalu berkata “why”. Media pembelajaran harus berubah mengikuti tuntutan arus globalisasi. Guru harus selalu berubah, kreatif, inovatif sehingga suasana belajar akan terjalin lebih hidup, akrab dan menyenangkan agar peserta didik bisa mencapai potensi terbaiknya. Dengan demikian, mereka akan betah di sekolah tanpa harus merepotkan Satpol PP merazianya di sudut-sudut jalan atau di pasar sebagaimana yang sering terjadi di beberapa kabupaten/kota yang masih mengalami kesenjangan digital.

Pendidikan pada dasarnya proses perubahan kehidupan. Sekarang saatnya menengok kembali sambil menarik napas yang dalam, merenung, memikirkan ulang apa yang mengubah anak didik dalam kehidupan sekolah. Bagi Eric Jensen, penulis buku ‘Super Teaching’, relasi dan kepedulian yang membantunya menikmati pelajaran bahasa Inggeris dan model peran. Dalam pembelajaran yang paling berkesan dan diingat siswa adalah emosi. Emosi mempengaruhi keyakinan, keputusan, dan aksi yang dipilih terkait masa depan. Efek yang ditimbulkan emosi tetap bertahan. Kekuatan dari memori emosional langsung terjadi  dan mengalir secara spiral ke dalam masa depan, mempengaruhi proses pengambilan keputusan, kata Eric Jensen. Jadi, jangan sampai ada peserta didik merasa dipermalukan atau direndahkan oleh guru di depan kelas karena insiden itu bisa meninggalkan kesan buruk yang akan langsung mempengaruhi pikiran, perilaku, dan kepribadiannya yang berakibat fatal bagi keputusan masa depannya. Sudah saatnya memikirkan visi serta apa yang sepatutnya ditampilkan dalam melakukan karya pendidikan dalam kehidupan sekolah. Tentu, diperlukan cara berpikir baru dan cara pandang baru dalam mengantisipasi tuntutan arus globalisasi di Era Generasi Digital ini. Ada baiknya mempertimbangkan nasehat Albert Einstein: ‘Kita harus belajar untuk melihat dunia dengan cara baru’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar