Minggu, 06 November 2011

DINAMIKA PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


DINAMIKA PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
(Priode Awal Persentuhan Filsafat Yunani dan Islam)
Oleh : Hilal Mahmud

Abstrak

Filsafat Pendidikan Islam sejak awal telah menerima pemikiran dari luar konsepsi Islam. Filsafat pendidikan Islam dapat ditelusuri awal kehadirannya pada abad ketujuh Masehi ketika perluasan wilayah Islam telah memasuki Mesir, Syria, Mesopotamia (Irak), dan Persia (Iran). Hal itu berarti dimulainya persentuhan antara Islam dan filsafat Yunani. Filsafat Yunani masuk ke wilayah ini bersamaan dengan penaklukan Alexander the Great dari Macedonia ke kawasan Asia dan Afrika. Dalam perkembangannya filsafat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran yang khas dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Persentuhan dan pergumulan pemikiran Yunani dan Islam saat itu melahirkan berbagai pandangan, antara lain: 1) Pandangan filosofis tentang hakikat manusia; 2) Pandangan filosofis tentang hakekat kalam Allah; 3) Pandangan tentang hakikat iman sebagai problema filosofis dalam ilmu kalam disamping pandangan tentang kalam Allah (Al-Qur’an); 4) Pandangan tentang pendidikan. Filsafat pendidikan Islam yang berkembang sepanjang sejarah ternyata melahirkan berbagai pandangan yang berbeda-beda. Perbedaan pandangan ini membawa kehidupan umat Islam yang kontroversial. Pada satu pihak nampak kehidupan material yang serba megah dan mewah, di pihak lain dengan kehidupan batin yang  nampak terasing dari kehidupan dunia yang ramai. Dalam rangka membina filsafat pendidikan yang didasari nilai Islami diperlukan pelbagai ilmu pemgetahuan dan pengalaman seluas pandangan Islam, baik sebagai agama maupun sebagai peradaban manusia.

Kata Kunci : Dinamika, Pemikiran, Filsafat, Pendidikan, Yunani, Islam.




A.    PENDAHULUAN
Islam dikenal sebagai agama yang mengutamakan pendidikan. Ayat pertama yang diterima Rasulullah SAW berisi perintah untuk belajar (QS. Al-Alaq /96:1). Alqur’an menggambarkan pengetahuan sebagai karunia terbesar dari Allah SWT untuk hamba-Nya (QS Az-Zumar /39:9). Sejak awal pertumbuhan Islam, para pemikir Islam telah berusaha memahami konsep iman Islam dengan menggunakan konsep filsafat jika kita merujuk pada pengertian filsafat sebagai ‘cinta kebenaran’ atau al-hikmah (C.J. Webb Clement, 1949:7). Oleh karena itu, sebahagian penulis Islam masih tetap memakai kata hikmah, namun\ sebagian besar lagi telah menggunakan kata filsafat untuk mengganti kata Yunanai yakni Philosophia (Ahmad D Marimba, 1999:10).
Pencapaian kebenaran harus diawali dengan pengertian atau lebih tepatnya pengetahuan. Jikalau  pengetahuan seseorang sesuai dengan hal-hal yang difahaminya maka sesungguhnya ia telah mencapai suatu kebenaran untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, pengetahuan yang benar adalah suatu pengetahuan yang diterima secara objektif dan dengan mengutamakan sikap jujur serta tidak dipengaruhi pertimbangan pribadi dalam mengambil keputusan atau tindakan. Filsafat sebagai pandangan hidup difungsikan sebagai tolok ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus berhasil guna. Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat atau pandangan hidup dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah lewat pendidikan. Dengan demikian, suatu filsafat bagi masyarakat atau bangsa berkaitan erat dengan sistem pendidikan yang dirancang (Jalaluddin, 1991:1).
Islam sebagai suatu konsep ajaran yang diyakini memiliki nilai-nilai  kebenaran oleh penganutnya (Muslimin), pada dasarnya, juga merupakan filsafat dan pandangan hidup mereka. Keyakinan ini mendorong kaum Muslimin untuk menjadikan sumber ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar dan tujuan mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang Islami (Jalaluddin, 1991:2). Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Islam telah merambah keluar jazirah Arab, filsafat (kebenaran) Islam bertemu dengan filsafat Yunani. Rasionalitas yang ditawarkan filsafat Yunani dengan mudah terserap masuk kedalam khasanah filsafat Islam yang juga tidak menafikan rasio. Priode Abbasiyah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Pada priode ini para ilmuwan Islam mulai tertarik pada ilmu pengetahuan dan filsafat dari sumber-sumber Yunani. Ilmu pengetahuan yang diserap dari filsafat Yunani berkembang pesat di dunia Islam ketika dunia Barat masih sangat terkebelakang dan hampir sama sekali buta tentang filsafat Yunani.

  1. KAJIAN TEORI
B.1  Konsep Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat Pendidikan Islam merupakan bagian dari Ilmu Filsafat maka untuk memahami konsep Filsafat ini perlu lebih dahulu memahami pengertian filsafat terutama dalam hubungannya dengan pendidikan. Secara harfiah, filsafat berarti “cinta kepada ilmu”,  menurut asal katanya,  filsafat berasal dari kosakata bahasa Yunani philos berarti cinta dan sophia berarti ilmu/hikmah. Secara historis, filsafat menjadi induk segala ilmu pengetahuan yang berkembang sejak zaman Yunani kuno sampai zaman sekarang ini (H. Muzayyin Arifin, 2003:3).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat adalah hasil kerja berfikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filsuf yang logis dan sistematis tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam. Dalam perkembangan selanjutnya cakupan filsafat Islam diperluas ke segala aspek ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran keislaman, meliputi Ilmu Kalam, Ushul Fikih, dan Tasauf (Hasyimsyah  Nasution, 2001:2).
Filsafat mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan. Van Cleve Morris menyatakan bahwa pendidikan adalah studi filosofis karena pendidikan bukan hanya sekedar alat sosial tetapi juga menjadi lembaga yang melayani masyarakat menggapai masa depan yang lebih baik (Van Cleve Morris, 1963:57). Lebih jauh John Dewey menegaskan bahwa tugas filsafat dan pendidikan adalah seiring yaitu sama-sama memajukan hidup manusia. Hanya saja ahli filsafat lebih memperhatikan strategi pembentukan manusia, sementara ahli pendidikan lebih memperhatikan taktik agar strategi itu terwujud dalam kehidupan melalui proses pendidikan (John Dewey,1916: 383).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat yang memikirkan tentang masalah kependidikan. Untuk menyelesaikan permasalahan kependidikan, ada tiga disiplin ilmu yang membantu filsafat pendidikan, yaitu: 1) etika atau teori tentang nilai; 2) teori ilmu pengetahuan atau epistimologi, dan 3) teori tentang realitas atau kenyataan dan yang ada di balik kenyataan (metafisika). Olehnya itu filsafat pendidikan  mempunyai tiga tugas pokok jika dihubungkan dengan ketga disiplin ilmu di atas, yaitu: 1) Memberikan kritik terhadap asumsi yang dipegang oleh para pendidik; 2) Membantu memperjelas tujuan-tujuan pendidikan; 3) Melakukan evaluasi secara kritis tentang berbagai metode pendidikan yang dupergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan kependidikan yang telah dipilih (H. Muzayyin Arifin, 2003:.5).
Filsafat Pendidikan Islam sejak awal telah menerima pemikiran dari luar konsepsi Islam sehingga dalam rangka membina filsafat pendidikan yang didasari nilai Islami diperlukan pelbagai ilmu pemgetahuan dan pengalaman seluas pandangan Islam, baik sebagai agama maupun sebagai peradaban manusia. Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu pemikiran yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu dan logis, menyeluruh, serta universal yang tertuang kedalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu sistem. Dengan demikian filsafat pendidikan Islam tidak hanya sebatas lingkungan kelembagaan Islam atau pengetahuan dan pengalaman keislaman semata, tetapi juga menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas yang terus menerus berkembang mengikuti dinamika kehidupan (H. Muzayyin Arifin, 2003: 28).
B.2  Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai suatu ilmu maka pola dan system pemikiran kefilsafatan pendidikan Islam mengikuti pola dan system pemikiran kefilsafatan pada umumnya. Olehnya itu, pemikiran kefilsafatan pendidikan Islam bersifat sistematis. Artinya, cara berfikirnya bersifat logis dan rasional, serta satu bagian dan bagian lainnya saling berhubungan secara padu. Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal dan mendasar. Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini. Namun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, tidak didasari pembuktian empiris atau eksperimental (H. Muzayyin Arifin, 2003: 6-7).
Pola dan sistem berfikir filosofis demikian dilaksanakan dalam ruang lingkup yang menyangkut bidang kosmologi, ontologi, philosophy of mind, epistemologi, dan aksiologi. kosmologi adalah suatu pemikiran yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptan Tuhan. Ontologi adalah suatu pemikiran tentang asal usul kejadian alam semesta, dari mana dan kearah mana proses kejadiannya. Philosophy of mind adalah pemikiran filosofis tentang jiwa dan hubungannya dengan jasmani serta bagaimana dengan kebebasan kehendak manusia. Epistemologi yaitu pemikiran tentang bagaimaa sumber pengetahuan diperoleh. Apakah dari akal pikiran (Rasionalisme), dari pengalaman pancaindra (Empirisme), dari ide-ide (Idealisme), atau dari Tuhan (Teologisme). Sementara Aksiologi adalah pemikiran tentang nilai, termasuk nilai tinggi dari Tuhan. Aksiologi lebih luas pengertiannya daripada etika atau higher values of life (H. Muzayyin Arifin, 2003:7-8).
Ruang lingkup pemikiran Filsafat Pendidikan Islam mengikuti ruang lingkup objek pemikiran filsafat pendidikan secara umum, tetapi filsafat pendidikan Islam mempunyai objek pembahasan yang bersumber dari ajaran Islam maka pola dan sistem berfikir serta ruang lingkup permasalahan yang dibahas pun harus bertitik tolak dari pandangan dan pemikiran Islam. Hal ini dicontohkan oleh para filosof Islam zaman keemasan perkembangan Islam di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol Islam abad ke-7 sampai abad ke-12 Masehi. Pada masa itu dikenal pemikir besar seperti Al-Kindi, A-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Mereka memiliki spesialisasi ilmu umum (kedokteran, sosiologi, kimia, dan sebagainya), tetapi jiwa dan corak keislamannyalah yang menonjol karena agama menjadi sumber inspirasi serta motivasi dalam berfikir, menyelidiki, menilai, menyimpulkan, serta menemukan suatu hakikat dari alam raya ini (H. Muzayyin Arifin, 2003:9).
Masalah-masalah dalam lingkup filsafat pendidikan Islam adalah metafisika, epistemology, dan etika. Metafisika sebagai cabang filsafat mengenai kenyataan (realitas) berusaha mencari sesuatu. Karena usahanya mencari hakikat, maka timbullah ilmu-ilmu keagamaan atau Ketuhanan, dan yang berhubungan dengan masalah apa. Pembahasan metafisika dalam Islam dibicarakan dalam Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam, dasarnya adalah akidah Islamiah dalam usaha mencapai hakikat kebenaran untuk menunjang keteguhan iman menuju ketakwaan. Adapun dasar-dasar pembahasan metafisika, yaitu Allah, manusia, dan alam.
Epistemologi adalah pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh; apakah dari akal pikiran (Rasionalisme) atau dari pengalaman pancaindra (Empirisme) atau dari ide-ide (Idealisme), atau dari Tuhan (Teologisme). Dalam Islam Al-Qur’an mengajak dan mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk berfikir, menggunakan akal sesuai dengan fungsinya guna mencapai pengetahuan yang benar. Selain itu Allah SWT telah menugaskan Rasulullah untuk mengajarkan ilmu kepada umat manusia. Manusia berkewajiban mencari ilmu pengetahuan sebagai modal hidup dan kehidupannya. Karena itu setiap kali orang Muslim menggunakan akalnya (berijtihad) dalam penyelidikan dan pembahasan sesuatu yang akan menghasilkan peningkatan kemajuan dan kebaikan dinilai sebagai ibadah kepada Allah. Dan nilai ilmu dalam Islam adalah ilmu yang bisa mengangkat derajat manusia dan kemanusiaan di hadapan Allah.
Dengan kebebasan berfikir, berperasaan, dan bertindak, yang telah diberikan Allah kepada manusia, mereka harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya dihadapan Allah SW. dengan demikian, maka ilmu berfungsi untuk:
a.       Mengetahui kebenaran, untuk ini bisa menggunakan dasar wahyu atau ilmu pengetahuan atau kedua-duanya.
b.      Menjelaskan ajaran atau kaidah Islamiyah.
c.       Menguasai alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
d.      Meningkatkan kebudayaan dan peradaban Islamiyah (Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, 2001:36).
Etika yang dikehendaki adalah berasaskan akidah Islamiyah demi kebaikan masyarakat beragama dan bermasyarakat bangsa pada umumnya. Karena dasarnya adalah akidah, maka etika atau akhlak itu harus diyakini kebenarannya dan harus pula diamalkan. Dalam agama terkandung niali-nilai yang menentukan, yang bukan saja terhadap cara berfikir, tetapi juga terhadap pandangan hidup, sikap hidup dan perilaku hidup. Nilai suatu pandangan atau filsafat hidup berjalan dari diri pribadi menuju masyarakatnya. Demikian pula agama dengan segala aspeknya bergerak dari individu menuju masyarakat luas. Agama tetap menentang kekurangan-kekurangan yang ada pada manusia, memperjelas tuntutan manusia dan kemanusiaan menuju kepada kesempurnaan dan kebenaran.
B.3 Priode Awal Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam dapat ditelusuri awal kehadirannya pada abad ketujuh Masehi ketika perluasan wilayah Islam telah memasuki Mesir, Syria, Mesopotamia (Irak), dan Persia (Iran). Hal itu berarti dimulainya persentuhan antara Islam dan filsafat Yunani. Filsafat Yunani masuk ke wilayah ini bersamaan dengan penaklukan Alexander the Great dari Macedonia ke kawasan Asia dan Afrika. Pusat-pusat pengkajian kebudayaan dibuka atas perintah Alexander yang ingin menguasai dan menyatukan kebudayan Barat dan Timur dengan kebudayaan Yunani sebagai intinya. Hal in dikenal dengan Hellenisme (Harun Nasution, 1986: 46). Ratusan ribu karya ahli Yunani dalam berbagai bidang dihimpun dalam perpustakaan kota. Sampai abad ketujuh kota Iskandariah menjadi pusat studi filsafat, teologi, dan sains yang sangat penting (Slamet Imam Santoso, 1977:46). Setelah penaklukan kota Iskandariah oleh Islam, para intelektual Arab mempelajari karya-karya Yunani dan menrejemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Selain itu Harran, sebelah utara Suriah dan masih tetangga kota Edessa dimana terdapat sekolah sebagai pusat pengembangan pemikiran Yunani, merupakan mata rantai penyebaran ilmu-ilmu Yunani kepada orang-orang Arab, Setelah kota Harran jatuh ke tangan Islam, kota ini menjadi lebih terbuka dan menjadi pusat studi berbagai mazhab keagamaan bangsa Semith. Bahkan sarjana Harranlah yang mampu melengkapi Istana Babilonia dengan astrologi, matematika, astronomi, dan lain-lain (Hasyimsyah Nasution, 2001: 10-11).
Filsafat Yunani yang berkembang di Persia berawal di Jundisyafur.[1] Kekalahan Romawi dalam perang melawan Persia menyisakan tawanan yang diantaranya terdapat banyak insinyur, arsitektur, dan dokter. Jundisyafur semakin terkenal setelah kaisar Byzantium, Justianus, menutup akademi filsafat di Edessa dan mengusir semua filsuf dari daerah itu karena ajaran filsafat menurutnya bertentangan dengan ajaran Kristen (K. Bertens, 1976:17). Pada umumnya filsuf Yunani lari ke Jundisyafur dan diterima baik oleh Maharaja Persia. Sejak itu sebagian besar filsafat dan sains Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Dengan demikian Jundisyafur menjadi penghubung antara filsafat Yunani dan Islam. Namun pada masa Abbasiyah pusat ilmu pengetahuan dan filsafat beralih ke Baghdad.
Para pemikir Islam yang datang kemudian dapat menemukan karya-karya filsuf Yunani di kota-kota tersebut di atas. Tetapi pada masa Khulafa al-Rasyidin dan Daulah Umayah filsafat Yunani tersebut belum dikembangkan karena perhatian ummat Islam saat itu terfokus pada penaklukan wilayah dan lebih menonjoikan kebudayaan Arab. Perhatian terhadap filsafat Yunani baru ada pada masa Al-Makmun (813-833M), putra Harun al-Rasyid, ketika Daulah Abbasiayah berpusat di Baghdad.[2] Al-Makmun termasuk salah seorang intelektual yang gandrung kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia mendirikan Bait al-Hikmah di bawah pimpinan  Hunain ibn Ishaq (809-873M), seorang Nashrani yang ahli bahasa Yunani, dibantu oleh intelektual Islam lainnya seperti Abu Zakaria ibn Adi dan Al-Kindi. Akademi ini tidak hanya berfungsi sebagai wadah penerjemahan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan filsafat dan sains.
Dalam waktu yang relatif singkat umat Islam telah mampu menguasai berbagai warisan intelektual dari tiga kebudayaan yang sangat maju saat itu yaitu Yunani, Persia, dan India. Warisan intelektual itu oleh pemikir-pemikir Islam dikembangkan menjadi suatu kebudayaan yang lebih maju. Inilah periode awal pengenalan filsafat pendidikan Islam, kemudian ilmu pengetahuan dan sains di tangan Islam mencapai masa kejayaannya. Namun sayang kejayaan ilmu dan filsafat itu hanya berlangsung sampai abad ketigabelas Masehi. Dan seiring kemunduran dunia Islam sejak jatuhnya Turki Utsmani ke tangan Barat, pusat ilmu dan filsafat itu kemudian dipindahkan ke negeri-negeri Barat (Hasyimsyah Nasution, 2001:13).
B.4 Perkembangan Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam
Dalam perkembangannya filsafat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran yang khas dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Pemikiran-pemikiran tersebut tentu saja berpengaruh dalam pendidikan. Berikut ini beberapa pandangan dan pemikiran filsafat yang berkembang dalam dunia pendidikan (Zuhairini dkk., 1992: 137-145).
a.       Pandangan filosofis tentang hakikat manusia yang dikembangkan di kalangan umat Islam adalah pandangan Jabariah dan Qadariah. Hakikat manusia, menurut pandangan Jabariah, bersifat ijabar, segala perbuatannya terpaksa dikerjakan. Manusia hanya sekedar pelaksana dari kehendak dan perbuatan Tuhan. Pandangan ini berimplikasi negatif terhadap pendidikan, yaitu manusia akan bersikap pasif dan tidak mau berusaha memecahkan problema hidup dan kehidupannya. Sebaliknya, Qadariah berpendapat bahwa manusia menguasai perbuatan-perbuatannya. Manusia mempunyai hak untuk menentukan pilihan dan memiliki kebebasan berkehendak (freedom of will). Pandangan ini memiliki pengaruh positif terhadap pendidikan. Manusia akan aktif dan penalarannya akan berkembang serta bertanggung jawab terhadap semua karyanya karena dialah penentu atas apa yang sebaiknya dia kerjakan.
b.      Pandangan filosofis tentang hakekat kalam Allah. Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa kalam Allah, Al-Qur’an, yang diwahyukan kepada Muhammad SAW merupakan kalam azali. Pandangan ini berpengaruh pada pendidikan dengan menimbulkan sikap ta’dhim kepada Al-Qur’an, misalnya harus berwudhu kalau mau menyentuh Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an (meskipun tidak mengerti maksudnya)  itu ibadah. Dampak buruk dari pandangan ini adalah pada umumnya umat Islam sudah puas hanya dengan membaca Al-Qur’an tanpa berusaha memahami maksudnya sehingga tidak membangkitkan minat belajar tentang isi Al-Qur’an. Sebaliknya, ahl al-Kalam berpandangan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Kalam Allah yang azali itu hanya ada pada zat Allah. Al-Qur’an tidak diperlakukan sebagai suatu yang sakral dan tidak tersentuh oleh akal, tetapi akal bebas memikirkan dan mengambil pelajaran daripadanya. Dengan demikian pandangan ini berpengaruh positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan karena Al-Qur’an dipandang sebagai sumber ilmu pengetahuan yang tidak akan kering.
c.       Pandangan tentang hakikat iman sebagai problema filosofis dalam ilmu kalam disamping pandangan tentang kalam Allah (Al-Qur’an). Kaum Murji’ah berpandangan bahwa iman itu dalam hati. Pandangan ini beranggapan bahwa seseorang masih tetap beriman meskipun tidak melaksanakan syariat dan bahkan walaupun mengerjakan dosa besar. Kaum Khawarij berpandangan bahwa iman itu dalam hati dan dinyatakan secara lisan. Seseorang yang sudah mengucapkan syahadat sudah dianggap beriman, walaupun tanpa mengerjakan syariat agama. Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa iman itu dalam hati, dinyatakan dengan lisan, serta disempurnakan dengan perbuatan. Seseorang yang mengucapkan syahadat sudah dianggap beriman hanya belum sempurna, dan masih tetap dalam keimanannya meskipun ia berbuat dosa besar. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa harus ada keselarasan yang konsekwen antara lahir dan bathin, antara hati/pikiran dan perbuatan. Menurut Kaum Mu’tazilah iman itu amal. Pandangan Mu’tazilah ini berpengaruh positip terhadap pembinan kepribadian yang utuh.
d.      Pandangan tentang pendidikan. Para ahli Tasauf lebih banyak memberikan petunjuk pelaksanaan pendidikan secara praktis. Metode empiris eksperimental diutamakan dalam pendidikan karena, menurut pandangan ahli Tasauf, ilmu yang benar adalah ilmu yang diperoleh melalui pengalaman inderawi dan batiniah. Untuk sampai pada ma’rifat, harus melalui tingkatan-tingkatan yang disebut tarikat dan pada setiap tingkatan harus melalui riyadah atau latihan. Ajaran pokok ahli Tasauf adalah bahwa manusia dengan Tuhan dan harus berusaha untuk dekat. Kedekatan kepada Tuhan ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari yang serba bebas dari ikatan keduniawian, termasuk norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya, ahli Filsafat menghendaki adanya pendidikan rasional yang mementingkan pengembangan akal pikiran. Ahli filsafat beranggapan bahwa akal adalah satu-satunya alat untuk mendapatkan kebenaran. Kebenaran yang sebenarnya adalah yang masuk akal. Olehnya itu, tujuan pendidikan menurut ahli filsafat adalah mengembangkan daya rasional secara maksimal. Kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulum yang mampu mengembangkan akal. Dampak negative dari pandangan ini adalah timbulnya kehidupan materialistis yang mengabaikan kehidupan batin. Tetapi pengaruh positifnya adalah ilmu pengetahuan yang menunjang hajat hidup manusia berkembang dengan pesat.
Filsafat pendidikan Islam yang berkembang sepanjang sejarah ternyata melahirkan berbagai pandangan yang berbeda-beda. Perbedaan pandangan ini membawa kehidupan umat Islam yang kontroversial. Pada satu pihak nampak kehidupan material yang serba megah dan mewah, di pihak lain dengan kehidupan batin yang  nampak terasing dari kehidupan dunia yang ramai.

C.           PENUTUP/KESIMPULAN
Filsafat Pendidikan Islam sejak awal telah menerima pemikiran dari luar konsepsi Islam sehingga dalam rangka membina filsafat pendidikan yang didasari nilai Islami diperlukan pelbagai ilmu pemgetahuan dan pengalaman seluas pandangan Islam, baik sebagai agama maupun sebagai peradaban manusia. Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu pemikiran yang serba mendalam, mendasar, sistematis, terpadu dan logis, menyeluruh, serta universal yang tertuang kedalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu sistem. Sebagai suatu ilmu maka pola dan system pemikiran kefilsafatan pendidikan Islam mengikuti pola dan system pemikiran kefilsafatan pada umumnya. Dengan demikian filsafat pendidikan Islam tidak hanya sebatas lingkungan kelembagaan Islam atau pengetahuan dan pengalaman keislaman semata, tetapi juga menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas yang terus menerus berkembang mengikuti dinamika kehidupan.
Filsafat pendidikan Islam dapat ditelusuri awal kehadirannya pada abad ketujuh Masehi ketika perluasan wilayah Islam telah memasuki Mesir, Syria, Mesopotamia (Irak), dan Persia (Iran). Dalam waktu yang relatif singkat umat Islam telah mampu menguasai berbagai warisan intelektual dari tiga kebudayaan yang sangat maju saat itu yaitu Yunani, Persia, dan India yang oleh pemikir-pemikir Islam dikembangkan menjadi suatu kebudayaan yang lebih maju dan melahirkan pemikiran-pemikiran yang khas dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Pemikiran-pemikiran tersebut tentu saja berpengaruh dalam pendidikan dan ternyata melahirkan berbagai pandangan yang berbeda-beda serta membawa kehidupan umat Islam yang kontroversial. Pada satu pihak Nampak kehidupan material yang serba megah dan mewah, di pihak lain dengan kehidupan batin yang  nampak terasing dari kehidupan dunia yang ramai. Namun sayang kejayaan ilmu dan filsafat itu hanya berlangsung sampai abad ketigabelas Masehi. Dan seiring kemunduran dunia Islam sejak jatuhnya Turki Utsmani ke tangan Barat, pusat ilmu dan filsafat itu kemudian dipindahkan ke negeri-negeri Barat.


DAFTAR  PUSTAKA

Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003.

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1976.

Clement, C.J. Webb.  A History of Philosophy. London: Oxford University Press, 1949.

Dewey, John. Democracy and Education. New York: The McMillan Co, 1916.

Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.

Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Jalaluddin dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan. Cet. VIII; Bandung;                      PT. al-Maarif, 1999.

Moris, Van Cleve. The Philosophy of Education in Becoming an Educator. Boston: Houghton Miffin Company, 1963.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta: UI-Press, 1986.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet. II; Jakarta: Radar Jaya Ofset, 2001.

Santoso, Slamet Imam. Capita Selecta Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Sinar Hudaya, 1977.

Zuhairini dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. II;  Jakarta: Bumi Aksara, 1992.


[1] Kota Jundisyafur dikembangkan oleh  Kisra Anusyirwan(531-578M) di daerah Khusistan, Persia. Semula bernama Genta Shaphirta atau ‘taman yang indah’.Pada akhir abad kedua Romawi dikalahkan oleh Persia di Ruha. Bala tentara Persia yang bertebaran di bagian Utara Syam kemudian dikumpulkan di Jundisyafur yang berarti Pemusatan Pasukan Syafur.
[2] Sebetulnya penerjemahan buku-buku karya pemikir Yunani kedalan bahasa Arab sudah dimulai sejak masa Khalifah Khalid bin Yazid tetapi buku-buku yang diterjemahkan saat itu yang berkaitan dengan keperluan hidup praktis seperti kimia dan kedokteran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar