Selasa, 08 November 2011

PAHLAWAN


Setiap pahlawan senantiasa mendapat tempat di hati pengagumnya. Ia dielu-elukan, disanjung, dikagumi, diagungkan, dipuji dan diangkat setinggi langit melebihi derajat manusia lainnya. Tetapi tidak ada pahlawan yang lebih terpuji melebihi guru.  Lihatlah! Di tengah hiruk pikuk kampanye pemilu, seorang calon legislatif dengan santun memuji guru dan tanpa lelah menabur janji untuk menuai suara. Dengarlah pidato para pejabat dan calon pejabat. Betapa agung, mulia, dan terhormatnya guru di mata mereka. Dan tengoklah para murid di setiap perayaan dan peringatan hari besar nasional. Mereka mengumandangkan lagu pujian untuk guru, “Terpujilah engkau wahai Ibu Bapak Guru/namamu akan selalu hidup dalam sanubariku/semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku/S’bagai prasasti trima kasihku ‘tuk pengabdianmu/Engkau bagai pelita dalam kegelapan/Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan/Engkau patriot pahlawan bangsa/tanpa tanda jasa.
Hymne guru yang diciptakan pada masa Mendikbud (sekarang Mendiknas) Daoed Joesoef ini digubah khusus untuk guru sebagai bukti kepedulian guna mengangkat citra, harkat dan martabat guru. Liriknya amat indah menawan. Iramanya menyentuh hati paling dalam. Meskipun liriknya sederhana, namun isinya padat memikat. Siapapun yang mendengarnya akan tersentuh perasaannya. Terutama baris terakhir yang menggelitik. Guru adalah patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.
Sejak hymne ini disenandungkan, guru Indonesia mendapat julukan baru: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Suatu julukan yang amat ambigious dan rentan terhadap beragam tafsir serta mudah di-pleset-kan. Dan itu, tentu saja, bisa menjadi awal petaka bagi citra dan martabat guru.
Memang semula julukan tersebut dimaksudkan untuk menjunjung tinggi citra, martabat, dan kehormatan guru. Julukan itu merupakan symbol pengabdian guru yang melakoni tugasnya tanpa pamrih. “Dalam bekerja guru senantiasa ikhlas, sepi ing pamrih, rame ing gawe,” kata Poniman, petani yang hanya sempat mengecap pendidikan hingga kelas dua SD itu. Para guru tetap ikhlas dan setia mengajar serta mendidik murid-murid, meskipun sering menerima perlakuan tidak wajar dari orangtua murid atau dari murid yang diajar oleh mereka sepanjang hari. Mereka bekerja seharian dalam rentang waktu belasan bahkan puluhan tahun. Jika anak didik berhasil, mereka tidak mengharapkan kalungan bunga, medali atau harapan agar kelak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka cukup bangga melihat sebagian anak didik mereka kemudian menjadi camat, bupati, walikota, gubernur, menteri, bahkan presiden.
Julukan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, disamping mengangkat citra, harkat dan martabat guru, juga bisa tidak menguntungkan bagi guru dan profesi keguruan. Dengan julukan itu, kata Dedi Supriadi dalam “Mengangkat Citra dan Martabat Guru”, ada kesan seakan-akan guru merupakan kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan terhormat, bernilai agung dalam mendidik bangsa, namun atas keringat dan jerih payah itu mereka mesti menerima apa adanya. Mereka tidak perlu banyak menuntut atau mengharapkan sesuatu yang lebih dari apa yang mereka dapatkan sekarang. Tidak usah pula guru mengeluh bila daya beli mereka rendah karena jumlah dan tingkat kenaikan gaji dan tunjangan tidak mampu mengimbangi inflasi dan depresiasi (Mudah-mudahan guru yang telah mendapat Tunjangan Sertifikasi tidak masuk dalam kategori ini). Tidak perlu juga menangis bila gaji atau tunjangan disunat. Singkatnya, tidak boleh cengeng!
Kesan dan implikasi yang mungkin timbul dari julukan guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, memang bisa beragam. Sebagian orang, menurut Dedi Supriadi, menjadikan julukan itu sebagai titik awal perjuangan peningkatan citra dan martabat guru sebagai profesi yang mulia dan terhormat dengan tidak mengabaikan hak untuk menikmati hasil keringat secara layak, sejajar dengan mereka yang bekerja pada bidang profesi terhormat lainnya. Sebagian yang lain terkesan setengah hati. Dalam pidato dan pernyataan lip service, mereka menghormati dan memuliakan guru, bahkan prihatin pada nasib guru. Tetapi dalam tataran praksis, pidato dan pernyataan itu terkubur oleh kendala yang amat klise: guru terlalu banyak! Padahal di mana-mana juga guru memang terlalu banyak, termasuk di Jepang, Malaysia, atau Amerika Serikat. Sebagian yang lain, dan ini amat memprihatinkan, masih sering melecehkan guru dan tidak peduli terhadap nasib guru (terutama nasib guru honorer yang hanya menerima honor 100 ribu atau 200 ribu perbulan tanpa bisa mimpi kapan perubahan nasib itu menjadi kenyataan lebih baik). Yang ditonjolkan adalah keadaan guru yang negatif tanpa bisa memberikan jalan keluar kearah jalan yang lebih baik.
Sesungguhnya yang dibutuhkan guru saat ini adalah pemberian kesempatan untuk meningkatkan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalitas, perlindungan profesi dalam melaksanakan tugas pengabdian, peningkatan kesejahteraan (terutama guru honorer) hingga level dimana guru tidak perlu lagi membagi perhatian ke hal lain. Mereka fokus pada bidang tugas mereka membentuk SDM yang kreatif dan inovatif. Mereka memiliki etos kerja yang tinggi, memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap professional sesuai perkembangan IPTEK serta mampu berkompetisi dan bermitra sejajar dalam percaturan global. Saat ini guru tidak lagi memerlukan janji dan lip-service, melainkan tekad dan dukungan nyata yang mengedepankan hati nurani. Pertanyaannya: Maukah kita? Siapkah kita? Bravo guruku! Bravo pahlawanku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar