Selasa, 08 November 2011

PENGHARGAAN


Penghargaan adalah suatu kata yang mudah diucapkan. Bahkan mudah diberikan kepada seseorang yang telah melakukan sesuatu yang bermanfaat dan bernilai tinggi, tetapi dalam pelaksanaannya sering salah kaprah. Misalnya, sebagai penghargaan terhadap jasa guru yang tidak ternilai dalam mencerdaskan bangsa, tahun 1980-an pemerintah memberi keistimewaan kepada guru dengan “kenaikan pangkat otomatis” yaitu kenaikan pangkat yang diberikan kepada guru tanpa melalui usulan setelah guru menduduki pangkat sebelumnya selama empat tahun. Walaupun ada guru yang “malas mengajar”, namun dalam waktu empat tahun ia secara otomatis akan menerima kenaikan pangkat. Pada satu sisi, kebijakan ini dapat dipahami sebagai salah satu  wujud penghargaan terhadap guru, tetapi di sisi lain agak mengganggu citra, harkat, dan martabatnya.
Kekeliruan tersebut kemudian diperbaiki dengan lahirnya Keputusan Menteri Negara Pemberdayagunaan Aparatur Negara Nomlor 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya tanggal 24 Desember 1993. Keputusan Menteri tersebut mengatur kenaikan pangkat/jabatan guru sekurang-kurangnya dua tahun dengan persyaratan angka kredit yang ketat sesuai bidang tugas yang diemban oleh seorang guru. Dengan aturan ini maka seorang guru dapat naik pangkat/jabatan guru setingkat lebih tinggi dalam waktu sekurang-kurangnya dua tahun jika memenuhi angka kredit minimal yang disyaratkan. Ini berarti, seorang guru bisa saja tidak naik pangkat/jabatan setingkat lebih tinggi meskipun telah menduduki pangkat/jabatan itu lebih dari dua tahun apabila belum memenuhi Angka Kredit (AK) yang disyaratkan. Meskipun masih terdapat kekurangan dalam implementasinya, hingga saat ini aturan tersebut masih dianggap relevan untuk dipertahankan.
Guru merupakan profesi terhormat dan bernilai agung dalam mendidik anak bangsa sehingga patut mendapat penghargaan yang setimpal. Guru memang pada dasarnya membutuhkan penghargaan tidak hanya di dalam film tetapi juga dalam dunia nyata. Penghargaan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang oleh Maslow disebut dengan esteem need yaitu kebutuhan untuk dihargai atau dihormati orang lain sebagai manusia yang mempunyai harga diri dan hak asasi. Tetapi ada satu pertanyaan yang menggelitik: Mengapa guru patut dihargai? Bukankah –menurut HAR Tilaar—guru, khususnya di Indonesia, merupakan profesi kerdil, melarat, kurang diminati, dan tidak menjanjikan masa depan? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengajak pembaca mengingat petuah seorang reformis Jerman, Martin Luther: “Kesejahteraan suatu Negara tidak tergantung kepada kekayaan alamnya, sumber uangnya, atau keindahannya, tetapi pada pendidikan, pencerahan, dan karakter.” Dengan demikian sulit mencari pembenaran atas sikap melecehkan dan merendahkan citra, harkat, dan martabat guru.
Sejak Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 diberlakukan, kepedulian terhadap eksistensi guru makin meningkat. Guru sebagai suatu profesi mulai dilirik. Sebagai bentuk penghargaan dan kepedulian terhadap guru maka peningkatan kesejahteraan dan perlidungan profesi guru dalam melaksanakan tugas pengabdian mendapat prioritas. Sebagian guru yang telah memenuhi syarat diberikan Tunjangan Sertifikasi sebesar gaji pokok. Disamping itu, dalam upaya mewujudkan guru professional yang kreatif dan inovatif serta memiliki etos kerja yang tinggi maka guru diberi kesempatan meningkatkan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalitasnya. Apalagi di Era Digital ini, posisi dan peran guru telah banyak digeser oleh “guru lain” seperti televisi, internet dan segala kemajuan IPTEK yang tidak hanya membantu meningkatkan kemampuan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar lebih cepat, tetapi juga memungkinkan gesach guru ‘tercuri’ oleh kecerdasan dan kecepatan teknologi Web 2.0.  Bagi Generasi Digital, teknologi Web 2-0 semacam Google, Yahoo, Blog, Wikipedia, Youtube, facebook, twitter, foursquare sudah menjadi menu wajib mereka sehari-hari dan telah menjadi “guru lain” yang amat mengasyikkan. Mereka berinteraksi, sharing, membuat dan berbagi konten melalui situs jejaring sosial. Chatting yang sepuluh tahun yang lalu hanya dapat mereka lakukan di warnet, kini dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja berkat teknologi 3G.
Di Era Digital ini tempat tempat belajar akan lebih tesebar. Bahkan dengan teknologi 3G dunia ada dalam genggaman. Hanya dengan satu ibu jari tangan informasi apapun yang dibutuhkan akan dapat terakses. Proses pembelajaran akan lebih tergantung pada kemampuan seseorang memanfaatkan teknologi dunia maya. Yang tersisa dan tidak dapat digantikan oleh “guru lain” adalah hati dan perasaan guru yang mampu menuangkan kasih sayang dalam mendidik. Untuk itu, guru tidak boleh kehilangan sentuhan kasih sayang dan kepekaannya pada anak manusia yang dididiknya. Ada baiknya para guru menyimak anjuran Federico Mayor, Dirjen UNESCO: “there is only one pedagogy, the pedagogy of love”.
Akhirnya. Kita hanya mampu berharap kiranya peserta didik Generasi Digital ini dapat terhindar dari apa yang disebut Mahatma Gandhi sebagai dosa-dosa modern yakni politik tanpa prinsip, bisnis tanpa moral, dan ilmu tanpa kemanusiaan. Tetapi yang disebutkan di atas barusan baru sekedar teori. Yang diperlukan, tentu saja, adalah tindakan nyata sebab tindakan nyata lebih bermakna dari sejuta kata. Seperti kata Goethe: “Knowing is not enough, we must apply. Willing is not enough, we must do.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar