Kamis, 05 April 2012

PERENCANAAN PEMBELAJARAN


PERENCANAAN PENGAJARAN DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
Oleh: Hilal Mahmud
Abstrak

Perencanaan pengajaran merupakan tahapan penting dalam proses pembelajaran. Dengan perencanaan yang baik maka pelaksanaan pembelajaran akan berjalan dengan baik, efektif,  dan efisien. Perencanaan pengajaran bukan hanya sekedar aktivitas rutin dalam  administrasi pendidikan, tetapi merupakan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Karena itu, perencanaan pengajaran harus betul-betul dipersiapkan secara cermat. Pendidik seyogyanya secara terus menerus meningkatkan kapasitas dan kompetensinya dalam merancang dan merencanakan pembelajaran yang berkualitas sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang berkualitas. Ada dua hal yang penting diperhatikan dalam perencanaan pengajaran. Pertama, persiapan dalam merencanakan kegiatan pembelajaran, meliputi: 1) mengenal lingkungan peserta didik; 2) Memahami karakteriristik, gaya belajar dan kemampuan peserta didik; dan 3) memiliki kompetensi sebagai guru professional. Kedua, kegiatan dalam perencanaan pengajaran, meliputi: 1) mengembangkan silabus; dan 2) menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Kata Kunci : Perencanaan, Pengajaran,  Kegiatan Pembelajaran

A.        PENDAHULUAN
Pembelajaran memiliki keunikan tersendiri. Pembelajaran bisa berlangsung dimana saja. Pembelajaran dapat berlangsung di ruang yang dikelilingi sekat tembok atau di alam terbuka. Tetapi keberhasilan pembelajaran, menurut Eric Jensen, sebenarnya bukan ditentukan oleh tempat berlangsungnya proses pembelajaran, tetapi lebih pada bagaimana seorang pendidik mampu merencanakan serta memanfaatkan tempat dan lingkungan belajar yang mengandung banyak sekali event, isyarat, serta pemicu yang turut mempengaruhi pembelajaran. Dan yang sama pentingnya (atau lebih penting) adalah bagaimana peserta didik  belajar (Jensen,  2010: 12).
Permasalahan belajar sebenarnya begitu kompleks dan unik. Belajar menjadi hal yang sentral untuk mewujudkan perubahan. Jika peserta didik benar-benar belajar, maka mereka akan berubah dengan sungguh-sungguh akibat hasil belajar tersebut. Jika mereka benar-benar berubah dan menjadi pembelajar sejati, maka mereka akan merefleksikan perubahan-perubahan itu, kemudian  akan belajar lebih banyak lagi. Artinya, belajar memicu terjadinya perubahan dan perubahan memicu terjadinya belajar yang lebih banyak lagi, sehingga pembelajaran berkualitas terwujud dan membentuk siklus kemaslahatan (Jensen,  2010: 12).
Untuk mewujudkan pembelajaran yang berkualitas, berbagai macam teori dan strategi pembelajaran telah ditawarkan para pakar pendidikan. Namun sampai saat ini, masih banyak persoalan-persoalan yang muncul dalam proses pembelajaran. Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menenetapkan strategi belajar yang tepat untuk suatu situasi dan lingkungan belajar tertentu. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal, faktor pendidik merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap peserta didik. Sukses tidaknya peserta didik dalam belajar, sangat tergantung pada bagaimana pendidik  merekayasa kegiatan pembelajaran melalui perencanaan pengajaran.
Perencanaan pengajaran merupakan tahapan penting dalam proses pembelajaran. Dengan perencanaan yang baik maka pelaksanaan pembelajaran akan berjalan dengan baik, efektif,  dan efisien. Perencanaan pengajaran bukan hanya sekedar aktivitas rutin dalam  administrasi pendidikan, atau hanya sekedar alat untuk menyenangkan hati kepala sekolah atau pengawas. Perencanaan, menurut Terry, tidak hanya sekedar menetapkan pekerjaan yang harus dilaksanakan, tetapi perencanaan juga mencakup kegiatan pengambilan keputusan. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengadakan visualisasi dan melihat ke depan guna merumuskan suatu pola tindakan untuk masa mendatang (Majid, 2011: 16). Lebih dari itu, perencanaan pengajaran merupakan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Karena itu, perencanaan pengajaran harus betul-betul dipersiapkan secara cermat. Gagal merencanakan berarti merencanakan untuk gagal.
Upaya mewujudkan perencanaan pengajaran menjadi pedoman dalam kegiatan pembelajaran yang implementatif memerlukan kemampuan yang komprehensif. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang beragam dokumen normatif (Peraturan Mendiknas Nomor : 22/2006 tentang Standar Isi, Peraturan Mendiknas Nomor : 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Peraturan Mendiknas Nomor : 24/2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, Peraturan Pemerintah Nomor: 19/ 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan), dokumen alternatif (buku teks, dan sumber bahan lainnya) serta realitas kontekstual (siswa dan kebutuhannya). Pemahaman tentang berbagai hal tadi dapat membantu pendidik dalam mewujudkan dokumen aplikatif (silabus dan RPP) yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Berbagai gambaran yang dikemukakan di atas memberikan isyarat pentingnya upaya pendidik secara terus menerus meningkatkan kapasitas dan kompetensinya dalam merancang dan merencanakan pengajaran untuk kegiatan pembelajaran yang berkualitas sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang berkualitas.

B.     PEMBAHASAN
1.   Persiapan dalam Merencanakan Kegiatan Pembelajaran
1.1  Mengenal Lingkungan Peserta Didik
Pembelajaran bukan hanya sekedar menjejali peserta didik dengan fakta-fakta, melainkan memberikan peluang pembelajaran seumur hidup kepada peserta didik. Banyak peserta didik merasa lingkungan sekolah menjadi hambatan belajar sehingga asosiasi negatif perlu diubah menjadi lingkungan sugestif-positif dan direncanakan secara cermat (Jensen, 2010: 23). Untuk itu diperlukan suasana lingkungan belajar yang kondusif yang memungkinkan peserta didik terdorong untuk selalu berkeinginan untuk belajar. Lingkungan belajar seyogyanya menjadi tempat yang mampu menciptakan suasana menyenangkan dan memberdayakan sehingga tercipta suasana belajar yang berpusat pada peserta didik.
Lingkungan belajar yang dirancang dengan baik memiliki efek kumulatif baik pada peserta didik maupun pendidik itu sendiri. Paling tidak, menurut Eric Jensen, lingkungan pembelajaran yang menyenangkan dapat: 1) mendorong hubungan positif antara peserta didik dan materi pokok yang akan diajarkan; 2) membangun relasi antara guru dan murid; 3) merangsang pemikiran, kreativitas, dan keingintahuan; 4) meningkatkan harga diri, keyakinan, dan nilai diri siswa; 5) menginformasikan, memengaruhi, membujuk dan menimbulkan semangat; 6) meningkatkan tingkat responsibilitas, rasa keadilan, dan perasaan positif peserta didik dengan sekolah; 7) membantu membuat rung kelas menjadi tempat yang nyaman (Jensen, 2010:24). Dengan demikian, lingkungan belajar merupakan cerminan siapa yang berinteraksi, materi apa yang dibahas, bagaimana berinteraksi, dan bagaimana suasana dapat terbangun yang berimplikasi pada perilaku dan hasil belajar peserta didik.
Dalam merancang kegiatan pembelajaran, pendidik biasanya hanya fokus pada materi yang akan diajarkan dan bagaimana menyampaikannya kepada peserta didik. Perhatian terhadap lingkungan belajar sering diabaikan. Padahal, menurut Bobbi DePorter, memahami kaitan antara pandangan sekeliling dan otak itu penting untuk mengorkestrasi lingkungan belajar yang kondusif. Mata mempunyai rentang persepsi yang lebar. Gerakan mata selama belajar dan berpikir terikat pada modalitas visual, auditorial, dan kinestetik. Mata bergerak menurut cara otak mengakses informasi. Ketika memikirkan sesuatu maka mata akan bergerak ke atas, ke arah tempat tersimpannya informasi. Ketika informasi auditorial masuk melalui telinga kanan maka mata akan bergerak ke sisi kanan(DePorter, 2010: 103-104). Dengan demikian, lingkungan belajar sebagai objek pandangan mata penting untuk dipahami dan ditata dengan baik sehingga menjadi lingkungan yang kondusif untuk kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar memengaruhi proses pembelajaran lebih dari pada yang dipikirkan selama ini. 

1.2  Memahami Karakteriristik, Gaya Belajar dan Kemampuan Peserta Didik

Semua pembelajar (Learner) memiliki perbedaan. Tidak ada pembelajar “standar”, dan tidak ada satu cara serba sempurna yang dapat dipakai untuk berhadapan dengan setiap pembelajar yang memiliki kenekaragaman  demografi,  suku, budaya, agama, gender, pisik, psikis, dan gaya belajar (Jensen, 2010:51). Dunia sekolah adalah dunia multikultural. Situasi ini menuntut pendidik untuk memahami dan belajar banyak tentang berbagai hal berkaitan dengan karakterisistik dan gaya belajar peserta didik.
Banyak periset melaporkan bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tidak hanya fisik tetapi juga perbedaan otak yang tegas antara pria dan wanita. Pada umumnya, wanita lebih baik dari pria dalam bidang-bidang: 1) kalkulasi matematika; 2) ketepatan, koordinasi motorik yang baik; 3) mudah mendapatkan ide, kosa kata; 4) membangun atau memengaruhi relasi. Sementara kaum pria lebih menyukai tugas pemecahan masalah: 1) keterampilan motorik yang diarahkan pada sasaran, misalnya panahan dan sepak bola; 2) penalaran matematis; 3) Hasil/tujuan lebih bernilai dari pada relasi/sarana (Jensen, 2010: 52-53).
Perbedaan lain yang penting dipahami dalam mempersiapkan perencanaan pembelajaran adalah perbedaan gaya belajar. Gaya belajar adalah satu cara yang disukai untuk memikirkan, mengolah dan memahami informasi. Ada yang menikmati belajar sambil mendengarkan musik (auditorial). Ada yang cepat memahami pelajaran biologi jika langsung praktik di laboratorium (kinestetik). Ada juga yang menikmati belajar biologi dengan menonton video (visual) (Jensen, 2010:54). Kenyataannya, semua orang memiliki ketiga gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik, hanya saja biasanya terdapat satu gaya belajar yang mendominasi (DePorter, 2010: 216). Untuk memahami gaya belajar tersebut dperlukan bantuan psikolog, namun dapat pula dilakukan oleh pendidik bersangkutan dengan cara sangat sederhana melalui Penilaian Visual-Auditorial-Kinestetaik (VAK) oleh Bobbi DePorter (2010:214-217). Pemahaman tentang gaya belajar ini bukan hanya penting bagi pendidik tetapi juga penting bagi peserta didik. Dengan memahami gaya belajar, perencanaan pembelajaran dapat lebih dioptimalkan.
Dalam perencanaan pengajaran, seorang pendidik seyogyanya memahami kemampuan peserta didik. Masalah yang terjadi adalah pendidik sering terjebak memahami kemampuan dalam arti sempit. Kemampuan peserta didik sering diukur hanya dalam satu ranah yaitu ranah kemampuan kognitif. Padahal sebagaimana Benyamin S. Bloom membagi tiga kemampuan seseorang yaitu kognitif yang menghasilkan keterampilan berpikir; psikomotorik yang menghasilkan kemampuan berkarya; dan afektif yang menghasilkan kemampuan bersikap (dalam Chatib, 2011: 70-71). Peringkat yang tertera di rapor diperoleh berdasarkan hasil ujian belajar akhir semester yang pada umumnya mengukur kemampuan kognitif peserta didik. Apalagi hanya kemampuan kognitiflah yang dapat dengan mudah didokumentasikan. Dalam upaya mempersiapkan perencanaan pengajaran, perlu dipertimbangkan melihat kompetensi peserta didik secara luas, berdasarkan tiga kemampuan (kognitif, psikomotorik, dan afektif) secara proporsional.

1.3  Memiliki Kompetensi Sebagai Guru Profesional
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 28 dijelaskan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Yang dimaksud kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Kompetensi, menurut Spencer and Spencer, merupakan karakteristirk yang menonjol dari seseorang individu yang berhubungan dengan kinerja efektif dan atau superior dalam suatu pekerjaan (Spencer and Spencer, 1993: 9).  David R. Stone mengemukakan bahwa kompetensi guru merupakan gambaran hakikat kualitatif dari prilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti (Stone, 1982: 16). Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pendidik (guru dan dosen) dalam melaksanakan tugas profeionalnya (UU RI No: 14 Tahun 2005 ttg Guru dan Dosen). Dengan demikian, kompetensi guru merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.. Kompetensi juga dimaksudkan sebagai spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya di dalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran. Kompetensi pedagogik meliputi: 1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional,  intelektual; 2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik; 3) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu; 4) Menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang mendidik; 5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran; 6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki; 7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik; 8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses serta hasil belajar; 9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; 10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran (UU RI No: 14 Tahun 2005 ttg Guru dan Dosen).
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan pribadi yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan bijaksana serta menjadi teladan peserta didiknya. Kompetensi kepribadian meliputi: 1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia; 2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat;  3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa; 4) Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan memiliki rasa percaya diri; 5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru (UU RI No: 14 Tahun 2005 ttg Guru dan Dosen).