INTERAKSI
SOSIAL DALAM KEHIDUPAN SEKOLAH
Oleh:
Hilal Mahmud*
Abstrak: Akselarasi
perubahan sosial menawarkan tantangan bagi dunia pendidikan sehingga
membutuhkan perhatian serius pengelola pendidikan untuk mempertimbangkan
interaksi sosial sebagai aspek penting dalam kehidupan sekolah. Interaksi sosial
yang terjadi dalam kehidupan sekolah dapat menim-bulkan dua golongan proses
sosial, yaitu proses sosial assosiatif (saling pengertian dan kerjasama) dan
proses sosial dissosiatif (perlawanan, persaingan, pertentangan konsep, dan
konflik) yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok dalam proses sosial
dalam kehidupan sekolah. Kedua golongan proses sosial tersebut patut menjadi
pertimbangan dalam menyusun dan menetapkan strategi yang tepat dalam pembelajaran.
Kata Kunci: Interaksi Sosial, Kehidupan Sekolah
A.
PENDAHULUAN
Dunia pendidikan saat ini betul-betul telah mengalami akselarasi
perubahan sosial yang makin sulit dihadapi sebagaimana yang telah “diramalkan”
Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock. Bahkan Daniel H. Pink (2009)
dalam bukunya, A Whole New Mind,
menyiratkan bahwa abad ini segera akan bergeser ke Abad Konseptual yang sudah
barang tentu menawarkan tantangannya tersendiri. Institusi sekolah pada Abad 21
yang juga dikenal dengan Abad Informasi ini memang telah mengalami kegoncangan
dan terperangkap dalam krisis yang oleh Alvin Toffler
dalam Previews and Premises sebut
krisis Gelombang Ketiga (The Third Wave)(1988:12-13). Yang mengenaskan banyak pihak adalah suasana
sekolah kita tidak lagi kondusif bagi generasi yang oleh Jemy V. Confide disebut sebagai Digital
Native. Digital Native
adalah generasi yang sangat fasih dengan bahasa global dan sangat akrab dengan
informasi dan pengetahuan global melalui internet. Generasi digital ini memerlukan suasana kondusif yang memungkinkan
mereka mendapat energi besar untuk terdorong dan betah belajar di sekolah.
Diperlukan interaksi sosial dalam kehidupan sekolah yang mampu menginspirasi
mereka untuk terus belajar dalam dunia mereka, dunia digital. Kehidupan sekolah
yang bisa membekali peserta didik dengan tuntutan kecakapan yang diperlukan
Abad 21 ini. Kehidupan sekolah yang peserta didik dan pendidiknya sangat
berminat, cakap dan menikmati belajar.
Kehidupan sekolah semacam ini bisa diwujudkan dengan mengembangkan
kehidupan sekolah yang disebut Sekolah Pembelajar (The Learning School).The Learning School atau Sekolah Pembelajar menjadikan belajar
sebagai hakikat keberadaannya. The learning School mendapatkan makna
keberadaannya dari belajar, sehingga hal utama di sekolah adalah seputar belajar.
Dalam the learning school, setiap orang adalah pembelajar. Peserta
didik, pendidik, kepala sekolah dan stake-holdernya adalah pembelajar. Menjadi
cita-cita setiap orang di sekolah untuk menjadi efisien dan efektif dalam
belajar dan belajar cara belajar bersama. ‘Efisien’ artinya warga sekolah
menjadi sangat asyik belajar dan belajar dengan cepat. ‘Efektif’ artinya warga
sekolah belajar dengan pemahaman yang mendalam dan mempraktikkannya (Suharsaputra,
2010: 22-32). Dalam sekolah
pembelajar warga sekolah benar-benar berhasrat belajar dan mendapat kesenangan
serta kepuasan dalam belajar. Sekolah memberi fokus membangun budaya belajar
dalam kehidupan sekolah serta menciptakan iklim interaksi sosial yang membangun
warga sekolah memiliki persepsi yang sama bahwa keberhasilan dan prestasi
sebagai konsekuensi logis dari kehidupan sekolah pembelajar bukan sebagai
tujuan.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan tempat terjadinya proses
pembelajaran, memerlukan bukan hanya
kebijakan manajemen tetapi juga kepemimpinan kepala sekolah yang dapat memberi
ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi. Untuk itu perlu
dibangun interaksi antar warga sekolah yang kondusif bagi berkembangnya
kebebasan berekspresi dan bertumbuhnya sinergitas diantara berbagai pihak yang
terlibat dalam organisasi sekolah sehingga kreativitas mereka dapat
berkontribusi bagi berkembangnya inovasi dalam suatu interaksi yang intens
dalam kehidupan sekolah. Strategi yang
dilaksanakan berfokus pada dimensi kultural dengan tekanan pada perubahan
perilaku nyata dalam bentuk tindakan. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran
dialektika Hegel yang melihat dunia sebagai bagian yang berhubungan satu dengan
lainnya seperti yang Jurgen Habermas sebut sebagai tindakan komunikatif, oleh
Comte dengan social dynamic, kesadaran kolektif oleh Durkheim, dan
interaksi sosial oleh Marx (Burhan
Bungin, 2009: 18-19).
Interaksi sosial dalam kehidupan sekolah menarik untuk dikaji karena dua
alasan. Pertama, berbagai upaya telah dilaksanakan untuk
membangun budaya belajar dalam kehidupan sekolah dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan, termasuk penerapan strategi yang berfokus pada dimensi struktural
dengan berbagai program aksi seperti penataan manajemen sekolah, pelatihan tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan, penambahan fasilitas belajar, namun hasilnya
belum banyak membawa perubahan. Kedua, berbagai pengalaman dan hasil
penelitian di dunia bisnis dan pendidikan memberikan tanda bahwa kultur
unit-unit pelaksana kegiatan menjadi faktor penentu dalam meningkatkan kualitas
pendidikan (Direktorat
Pendidikan Menengah Umum Dirjen Dikdasmen Depdiknas, 2004: 1).
B.
PEMBAHASAN
1.
Interaksi Sosial dan Konflik
Interaksi sosial
merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan
dengan kelompok manusia (Soekanto, 2002: 62). Syarat terjadinya interaksi
sosial adalah adanya kontak sosial (social contact) dan adanya
komunikasi (communication). Kontak
sosial yang terjadi pada warga sekolah tidak hanya secara langsung (kontak
sosial primer) tetapi juga melalui perantara baik sifatnya manusiawi maupun
teknologi (kontak sosial sekunder). Yang terpenting dalam komunikasi,
disamping sumber informasi( receiver),
saluran (media), dan penerima informasi (audience), juga aktivitas memaknakan informasi yang
disampaikan oleh sumber informasi dan pemaknaan yang dibuat oleh audience
terhadap informasi yang diterimanya itu (Bungin, 2009: 57-58).
Manusia adalah makhluk
konfliktis (homo conflictus) yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam
perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa (Susan, 2010:
8). Konflik dalam kamus berarti perecekcokan,
perselisihan, pertentangan (1997: 518).
Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia karena konflik memiliki
fungsi positif (George Simmel, 1918; Lewis Coser, 1957), konflik menjadi
dinamika sejarah manusia (Karl Marx, 1880; Ibnu Khaldun, 1332-1406), konflik
menjadi entitas hubungan sosial (Max Weber, 1918/1947; Ralf Dahrendorf, 1959),
dan konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia
(Maslow, 1954; Max Neef, 1987; John Burton, 1990, Marshal Rosenberg, 2003).
Sejarah
peradaban manusia selalu diwarnai berbagai konflik kepentingan yang, tentu
saja, menimbulkan korban. Konflik pertama dalam sejarah peradaban manusia
adalah konflik antara Qabil dan Habil yang berakhir pada pembunuhan anak
manusia pertama. Tidak dapat dipungkiri, konflik selalu mewarnai dinamika
kehidupan manusia. Pertentangan ideologi, agama, suku, dan bangsa telah
menimbulkan korban jiwa dan harta, bahkan mengarah kepada penghancuran
peradaban. Dalam catatan sejarah, konflik sering diikuti aksi kekerasan,
pembantaian, bahkan perang. Konflik yang
terjadi di Poso, Ambon, Papua, Kalimantan, Mambi Sulawesi Barat, dan Baebunta
Luwu Utara memberikan pembenaran terhadap pernyataan ini. Bahkan dalam skala
dunia, pembenaran atas pernyataan ini ditunjukkan oleh pembantaian dan
penghancuran peradaban bangsa Inca ketika invasi Spanyol ke benua Amerika pada
abad 14, dan benturan kekerasan antar etnis Serbia terhadap etnis Bosnia di
bekas Negara pecahan Yugoslavia. Demikian pula pembantaian missal etnis Hutu
terhadap etnis minoritas Tutsi pada tahun 1994 (Susan, 2010: 9). Namun menurut
Lewis Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif, tetapi juga memiliki fungsi
positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial yang
diakibatkannya. Konflik yang bisa dikelola dengan arif dan bijaksana akan
mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial
masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan. Coser melihat konflik sebagai
mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran atau fungsi
positif dalam masyarakat. Menurut Coser, konflik membuat batasan-batasan diatara
dua kelompok dalam system sosial dengan memperkuat kesadaran dan kesadaran
kembali atas keterpisahan sehingga menciptakan kesadaran identitas kelompok
dalam system (Susan, 2010: 59-60).
Konflik yang
terjadi melalui tahapan prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat, dan pasca
konflik (Fisher, 2000: 19). Prakonflik adalah priode pada saat terdapat suatu
ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik.
Konfrontasi merupakan tahapan dimana hanya satu pihak yang merasa ada masalah
yang memungkinkan para pendukungnya melakukan aksi demonstrasi atau perilaku
konfrontasi. Krisis adalah puncak konflik dimana konflik pecah menjadi bentuk
aksi-aksi kekerasan yang dilakukan secara intens dan massal. Dan tahap pasca konflik
adalah situasi ketika konflik diakhiri, ketegangan berkurang, dan hubungan
mengarah ke lebih normal diantara kedua belah pihak yang bertikai.
Pasca konflik
bisa juga disebut sebagai tahapan deeskalasi konflik kekerasan. Deeskalasi
konflik kekerasan bisa terjadi karena beberapa factor. Pertama, kedua belah
pihak berkonflik menemukan pemecahan masalah dari konflik, sebagaimana
penyelesaian konflik separatis GAM di Aceh. Kedua, salah satu pihak mengalami
kekalahan luar biasa sehingga tidak memiliki kemampuan melanjutkan konflik,
seperti kekalahan Saddam Husein di Irak atas invasi Amerika Serikat. Ketiga,
semua pihak mengalami kehancuran dan tidak mampu melanjutkan konflik. Keempat,
pihak berkonflik menghentikan sementara waktu konflik untuk menyusun strategi
selanjutnya.
Dengan
menganalisis dinamika konflik, bisa ditemukan langkah yang tepat untuk
mengintervensi konflik. Intervensi konflik
berarti masuk kedalam sistem hubungan yang sedang berlangsung, melakukan kontak
di antara dua pihak atau beberapa pihak untuk membantu mereka (Moore, 2003). Ada
beberapa bentuk dan tingkatan konflik. Pertama, peace making
(menciptakan perdamaian). Kedua, peace keeping (menjaga perdamaian).
Ketiga, conflict management (pengelolaan konflik) dalam bentuk
negosiasi, mediasi, penyelesaian jalur hukum, arbitrase, dan workshop pemecahan
masalah. Keempat, peace building (pembangunan perdamaian) yang merupakan
proses peningkatan kesejahteraan, pembangunan infra struktur, dan rekonsiliasi
seluruh pihak bertikai (Susan, 2010: 104).
2.
Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sekolah
Habermas
memahami masyarakat dalam paradigm ganda, yaitu sistem dan dunia-kehidupan.
Sistem merupakan suatu keseluruhan jaringan fungsional objektif yang
unsur-unsurnya saling tergantung satu sama lain secara kausal. Dunia-kehidupan
(Lebenswelt) adalah hasil keterlibatan intersubjektif, sebuah horizon sosial
yang bagaimanapun berubah dan berkembang dari waktu ke waktu dan terkait dengan
konteks. Dunia–kehidupan mencakup kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian.
Kebudayaan dipahami sebagai kumpulan pengetahuan sebagai acuan interpretasi
individu dalaqm mencapai pemahaman tentang sesuatu. Masyarakat dipahami sebagai
tatanan-tatanan yang sah yang menjadi wadah interaksi bermakna dan dengan
demikian menjamin solidaritas para anggotanya. Kepribadian dipahami sebagai
kompetensi-kompetensi yang memungkinkan subjek untuk berbicara dan bertindak
dalam konteks komunikasi dan dengan cara itu dia menegaskan jati dirinya (Habermas,
1984: 142).
Dalam menjaga
kelangsungan hidup dan identitasnya, masyarakat melangsung-kan proses-proses
reproduksi dalam dunia-kehidupan yang mencakup tiga fungsi, yaitu reproduksi
kultural, integrasi sosial, dan sosialisasi (Habermas, 1984: 140). Reproduksi kultural
adalah proses-proses yang menjamin kontinuitas tradisi dan koherensi
pengetahuan praktis sehari-hari yang diukur dengan rasionalitas pengetahuan
yang dianggap sahih.atau dengan kata lain dicapai dengan konsesnsus. Integrasi
sosial merupakan proses-proses yang memelihara koordinasi tindakan-tindakan sosial
dengan menata hubungan antarpribadi dan dengan menstabilkan identitas kelompok-kelompok
sejauh memadai bagi praktik hidup sehari-hari.yang diukur melalui solidaritas
diantara para anggota masyarakat. Sosialisasi adalah proses-proses yang menjamin
generasi demi generasi mencapai kompetensi-kompetensi umum bagi tindakan mereka
sehingga mereka memandang sejarah hidup individual mereka selaras dengan bentuk
kehidupan kolektif mereka yang diukur dengan tanggungjawab pribadi-pribadi itu,
Beberapa
gangguan proses-proses reproduksi dalam dunia-kehidupan muncul pada tiga fungsi
reproduksi (Habermas, 1984: 143). Jika wilayah reproduksi kultural terganggu
maka akan memunculkan krisis kebudayaan dalam bentuk hilangnya makna, krisis sosial
dalam bentuk krisis legitimasi, krisis kepribadian dalam bentuk krisis orientasi.
Jika wilayah integrasi sosial terganggu maka akan muncul krisis kebudayaan dalam bentuk rasa
ketidakpastian akan identitas kolektif, krisis social dalam bentuk anomi, dan
krisis kepribadian dalam bentuk alienasi. Jika wilayah sosialisasi terganggu
maka akan muncul krisis kebudayaan dalam bentuk keterputusan dengan tradisi,
krisis sosial dalam bentuk krisis motivasi, dan krisis kepribadian dalam bentuk
psikopatologi (sakit jiwa).
Kehidupan sekolah
merupakan kehidupan sosial yang dinamis seperti yang August Comte sebut sebagai social dynamic.
Kehidupan sekolah merupakan bentuk kehidupan sosial dimana warga sekolah hidup
bersama dalam kelompok untuk memenuhi
naluri manusia sebagai makhluk social. Kehidupan sekolah mengalami proses sosial dimana warga sekolah bertemu,
berinteraksi, dan berkomunikasi sehingga melahirkan sistem sosial dan pranata
social serta semua aspek kebudayaan (Bungin, 2009: 55). Dalam kehidupan sekolah
terjadi pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama yang oleh
Soerjono Soekamto sebut sebagai proses
sosial (Soekanto, 2002: 66). Proses sosial
ini kemudian mengalami dinamika secara terus menerus mengikuti perubahan dan
perkembangan zaman.
Interaksi sosial
yang terjadi dalam kehidupan sekolah dapat menimbulkan dua golongan proses
sosial, yaitu proses sosial assosiatif dan proses sosial dissosiatif. Proses
assosiatif adalah suatu proses yang terjadi saling pengertian dan kerjasama (gotong
royong, bargaining, cooptation, coalition, joint-venture), timbal balik
antara warga sekolah, orang perorang atau kelompok satu dengan yang lainnya
serta akomodasi (coercion, comproimise,, mediation,, conciliation,
toleration,, stalemate, adjudication), dimana proses ini menghasilkan
pencapaian tujuan-tujuan bersama. Proses
disosiatif merupakan proses perlawanan atau oposisi (persaingan/competition,
pertentangan konsep/controversion, dan conflict) yang dilakukan
oleh individu-individu dan kelompok dalam proses sosial diantara mereka pada
suatu masyarakat ((Soekanto, 2002: 71-104).
Kimball Young
dan Raymond, W. Mack dalam Sociology and Social Life mengemukakan bahwa
interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sekolah, bahkan tanpa interaksi
sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama (1959: 137). Dalam kehidupan
sekolah, terutama dalam kegiatan pembelajaran, interaksi sosial dapat dibangun
dengan mempromosikan kegiatan pembelajaran dalam kelompok. Secara sosio-logis,
istilah kelompok berarti suatu kumpulan orang-orang yang saling berinteraksi
satu sama lain, baik antar individu, individu dengan kelompok, maupun antar
kelompok. Interaksi yang dibangun tersebut diharapkan dapat mengarah kepada
interaksi edukatif yang mampu mengembangkan potensi peserta didik dalam
kehidupan sekolah. Interaksi edukatif merupakan salah satu aspek yang sering
diabaikan dalam kehidupan sekolah. Para pendidik sering lebih fokus pada upaya
peningkatan mutu akademik peserta didik. Hal ini sulit dihindari oleh para
pendidik di sekolah karena sistem penilaian selama ini lebih menekankan pada
aspek akademik dan mengabaikan aspek sosial dan spiritual. Harapan baru
kemudian lahir seiring diberlakukannya kurikulum 2013 yang menem-patkan
Kompetensi Inti (1) Sikap Spiritual dan Kompetensi Inti (2) Sikap Sosial pada
posisi utama dan penting sebelum Kompetensi Inti (3) Pengetahuan dan Kompetensi
Inti (4) Keterampilan.
Interaksi
edukatif dalam kehidupan sekolah diharapkan bisa dicapai melalui kesadaran
penuh pendidik bahwa tugas mendidik merupakan tugas mulia dan komprehensif.
Mendidik berarti menunjukkan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan
sekolah. Kepribadian atau karakter kuat pendidik dalam pembelajaran sangat
menentukan keberhasilannya dalam pembelajaran. Disamping itu, interaksi
edukatif juga ditentukan oleh kompetensi dan profesionalitas tenaga pendidik
dalam pembelajaran. Thomas Gordon mengemuka-kan bahwa dalam upaya membangun
interaksi edukatif yang lebih efektif, pendidik membutuhkan keterampilan
berkomunikasi agar mampu berinteraksi secara edukatif, mengembangkan potensi
peserta didik baik individu maupun kelompok (1997: 3).
C.
PENUTUP
Ada beberapa
kata kunci yang dapat dikemukakan disini berkaitan dengan interaksi sosial
dalam kehidupan sekolah, sebagai berikut:
1.
Interaksi sosial merupakan hubungan sosial
yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia melalui kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication), baik secara langsung (kontak sosial primer)
maupun melalui perantara baik sifatnya manusiawi maupun teknologi (kontak sosial
sekunder).
2.
Interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan
sekolah dapat menimbulkan dua golongan proses sosial, yaitu proses sosial
assosiatif (saling pengertian dan kerjasama) dan proses sosial dissosiatif
(perlawanan, persaingan, pertentangan konsep, dan konflik) yang dilakukan oleh
individu-individu dan kelompok dalam proses sosial dalam kehidupan sekolah.
Kedua golongan proses sosial tersebut patut menjadi pertimbangan dalam menyusun
dan menetapkan strategi yang tepat dalam pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Qur’an
al-Karim.
Al-Attas,
Syed Muhammad al-Naquib. Aims and Objectives of Islamic Education.
Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979.
Al-Attas,
Syed Muhammad al-Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj. Haidar
Bagir, Bandung: Mizan, 1984.
Arifin,
H.M. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Ashraf,
Ali. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Firdaus, 1989.
Azra,
Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta: Logos, 1999.
Badruzzaman,
Rosdiana, H, Siradjuddin Ismail, dan Mujizatullah. Implementasi Pendidikan
Agama di Daerah Pasca Konflik. Cet. I; Makassar: Cahaya Mujur Lestari,
2009.
Bloom,
Benjamin S. Taxonomy of Educational Objectives Handbook, I: Cognitive Domain.
New York: Longman Inc., 1956.
Buchori,
Mochtar. “Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa
Depan,” dalam M. Dawam Rahardjo. Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta:
P3M, 1989.
Bucher,
Charles A. Foundations of Physical Education. Saint Louis: The C.V.
Mosby Company, 1975.
Bungin,
Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik. Dan
Ilmu Sosial Lainnya. Ed. 1, Cet. 4; Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010.
Cronbach,
Lee J. Educatioonal Psychology. New York: Hartcourt Brace Jovanovich, 1977.
Daniel
O’leary and Susan G O’leary. Classroom Management. New York: Pergamon
Press Inc., 1972.
Darwis,
Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam, Sejarah, Ragam, dan Kelembagaan.
Cet. II; Semarang: RaSAIL, 2010.
Djohar.
Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta:
Lesfi, 2003.
Endrotomo.
Masalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Surabaya: P3AI ITS, 2004.
Gillin,
John Lewis Philip Gillin. Cultural Sociology. New York: The MacMillan
Company, 1952.
Fisher,
Simon. Manajemen Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta:
British Council, 2000.
Fowler,
H.W. and F.G. Fowler, The Coincise Oxford Dictionary of Current English.
Fourth Ed., London: Oxford University Press, 1958.
Fromm,
Erich. Psychoanalysis and Religion. New Haven & London: Yale
University, 1976.
Fullan,
Michael. The Meanoing of Educational Change. USA: OISE Press, The
Ontario Institute for Studies in Education, 1982.
Gordon,
Thomas. Menjadi Guru Efektif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Hasan,
Muhammad Tolchah. Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta:
Lantabora Press, 2006.
Hopkins
& Wideen. Alternative Perspectives on School Improvement. London and
New York: The Falmer Press, 1984.
Jalal,
Abdul Fattah. Azas-azas Pendidikan Islam. Terj. Herry Noer Ali, Bandung:
Diponegoro, 1988.
Langgulung,
Hasan. Azas-azas Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Husna, 1987.
Magee
J. Philosophical Analysis in Education. New York: London Harper and Row
Boston, 1971.
Marimba,
Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif,1989.
Maslow,
Abraham H. “A Theory of Human Motivation” , dalam Robert V. Githrie (ed), Psychology
of the World Today, An Interdiciplinary Approach. California:
Addison-Wesley Publishing Company, 1971.
Moore,
Christoper W. Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflct.
USA: Jossey-Bass, 2003.
Muhaimin.
Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Muhaimin,
Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Ed. 1; Jakarta: PT.
Rajawali Pers, 2009.
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasiopnal Pendidikan.
Razmal,
Abdul Muin. 2001. “Konflik Sosial Antara Masyarakat Rongkong dan Baebunta di
Kecamatan Baebunta Kabupaten Luwu Utara.” Thesis Pasca Sarjana, Program Pasca
Sarjana Universitas Negeri Makassar.
Quthb,
Muhammad. Sistem Pendidikan Islam. Terj. Salman Harun, Bandung: Al-Ma’arif,
1988.
Sergiovanni,
T.J. The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn
and Bacons, Inc., 1987.
Soekanto,
Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Cet. 21; Jakarta: Rajawali Press,
1995.
Soekarno
dan Ahmad Supandi. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:
Angkasa. 1985.
Sumartana,
Th. “Pluralisme, Konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan Antar Agama di
Indonesia”, dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
Agama di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Suparno,
Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius,
1997.
Surakhmad,
Winarno. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Cet.1;
Bandung: CV. Mandar Maju, 1994.
Susan,
Novri. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Cet.
ke-2; Jakarta: Kencana, 2010.
Sztompka,
Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Tafsir,
Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. Ketiga; Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000.
Tilaar,
H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera
Indonesia, 1998.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Ed. Kedua, Cet.
kesembilanbelas; Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Watt, W.M.
Islamic Philosophy and Theology. Edinburg: The University Press, 1979.