Kamis, 28 Januari 2016

INTERAKSI SOSIAL DALAM KEHIDUPAN SEKOLAH
Oleh: Hilal Mahmud*
Abstrak: Akselarasi perubahan sosial menawarkan tantangan bagi dunia pendidikan sehingga membutuhkan perhatian serius pengelola pendidikan untuk mempertimbangkan interaksi sosial sebagai aspek penting dalam kehidupan sekolah. Interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sekolah dapat menim-bulkan dua golongan proses sosial, yaitu proses sosial assosiatif (saling pengertian dan kerjasama) dan proses sosial dissosiatif (perlawanan, persaingan, pertentangan konsep, dan konflik) yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok dalam proses sosial dalam kehidupan sekolah. Kedua golongan proses sosial tersebut patut menjadi pertimbangan dalam menyusun dan menetapkan strategi yang tepat dalam pembelajaran.
Kata Kunci: Interaksi Sosial, Kehidupan Sekolah

A.    PENDAHULUAN
Dunia pendidikan saat ini betul-betul telah mengalami akselarasi perubahan sosial yang makin sulit dihadapi sebagaimana yang telah “diramalkan” Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock. Bahkan Daniel H. Pink (2009) dalam bukunya, A Whole New Mind, menyiratkan bahwa abad ini segera akan bergeser ke Abad Konseptual yang sudah barang tentu menawarkan tantangannya tersendiri. Institusi sekolah pada Abad 21 yang juga dikenal dengan Abad Informasi ini memang telah mengalami kegoncangan dan terperangkap dalam krisis yang oleh Alvin Toffler dalam Previews and Premises sebut krisis Gelombang Ketiga (The Third Wave)(1988:12-13). Yang mengenaskan banyak pihak adalah suasana sekolah kita tidak lagi kondusif bagi generasi yang oleh Jemy V. Confide disebut sebagai Digital Native. Digital Native adalah generasi yang sangat fasih dengan bahasa global dan sangat akrab dengan informasi dan pengetahuan global melalui internet. Generasi digital ini memerlukan suasana kondusif yang memungkinkan mereka mendapat energi besar untuk terdorong dan betah belajar di sekolah. Diperlukan interaksi sosial dalam kehidupan sekolah yang mampu menginspirasi mereka untuk terus belajar dalam dunia mereka, dunia digital. Kehidupan sekolah yang bisa membekali peserta didik dengan tuntutan kecakapan yang diperlukan Abad 21 ini. Kehidupan sekolah yang peserta didik dan pendidiknya sangat berminat, cakap dan menikmati belajar.
Kehidupan sekolah semacam ini bisa diwujudkan dengan mengembangkan kehidupan sekolah yang disebut Sekolah Pembelajar (The Learning School).The Learning School atau Sekolah Pembelajar menjadikan belajar sebagai hakikat keberadaannya. The learning School mendapatkan makna keberadaannya dari belajar, sehingga hal utama di sekolah adalah seputar belajar. Dalam the learning school, setiap orang adalah pembelajar. Peserta didik, pendidik, kepala sekolah dan stake-holdernya adalah pembelajar. Menjadi cita-cita setiap orang di sekolah untuk menjadi efisien dan efektif dalam belajar dan belajar cara belajar bersama. ‘Efisien’ artinya warga sekolah menjadi sangat asyik belajar dan belajar dengan cepat. ‘Efektif’ artinya warga sekolah belajar dengan pemahaman yang mendalam dan mempraktikkannya (Suharsaputra, 2010: 22-32). Dalam sekolah pembelajar warga sekolah benar-benar berhasrat belajar dan mendapat kesenangan serta kepuasan dalam belajar. Sekolah memberi fokus membangun budaya belajar dalam kehidupan sekolah serta menciptakan iklim interaksi sosial yang membangun warga sekolah memiliki persepsi yang sama bahwa keberhasilan dan prestasi sebagai konsekuensi logis dari kehidupan sekolah pembelajar bukan sebagai tujuan.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan tempat terjadinya proses pembelajaran,  memerlukan bukan hanya kebijakan manajemen tetapi juga kepemimpinan kepala sekolah yang dapat memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi. Untuk itu perlu dibangun interaksi antar warga sekolah yang kondusif bagi berkembangnya kebebasan berekspresi dan bertumbuhnya sinergitas diantara berbagai pihak yang terlibat dalam organisasi sekolah sehingga kreativitas mereka dapat berkontribusi bagi berkembangnya inovasi dalam suatu interaksi yang intens dalam kehidupan sekolah. Strategi yang dilaksanakan berfokus pada dimensi kultural dengan tekanan pada perubahan perilaku nyata dalam bentuk tindakan. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran dialektika Hegel yang melihat dunia sebagai bagian yang berhubungan satu dengan lainnya seperti yang Jurgen Habermas sebut sebagai tindakan komunikatif, oleh Comte dengan social dynamic, kesadaran kolektif oleh Durkheim, dan interaksi sosial oleh Marx (Burhan Bungin, 2009: 18-19).
Interaksi sosial dalam kehidupan sekolah menarik untuk dikaji karena dua alasan. Pertama, berbagai upaya telah dilaksanakan untuk membangun budaya belajar dalam kehidupan sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, termasuk penerapan strategi yang berfokus pada dimensi struktural dengan berbagai program aksi seperti penataan manajemen sekolah, pelatihan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, penambahan fasilitas belajar, namun hasilnya belum banyak membawa perubahan. Kedua, berbagai pengalaman dan hasil penelitian di dunia bisnis dan pendidikan memberikan tanda bahwa kultur unit-unit pelaksana kegiatan menjadi faktor penentu dalam meningkatkan kualitas pendidikan (Direktorat Pendidikan Menengah Umum Dirjen Dikdasmen Depdiknas, 2004: 1).  
B.     PEMBAHASAN
1.      Interaksi Sosial dan Konflik
Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2002: 62). Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication).  Kontak sosial yang terjadi pada warga sekolah tidak hanya secara langsung (kontak sosial primer) tetapi juga melalui perantara baik sifatnya manusiawi maupun teknologi (kontak sosial sekunder). Yang terpenting dalam komunikasi, disamping  sumber informasi( receiver), saluran (media), dan penerima informasi (audience),  juga aktivitas memaknakan informasi yang disampaikan oleh sumber informasi dan pemaknaan yang dibuat oleh audience terhadap informasi yang diterimanya itu (Bungin, 2009: 57-58).
Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus) yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa (Susan, 2010: 8).  Konflik dalam kamus berarti perecekcokan, perselisihan, pertentangan (1997: 518). Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia karena konflik memiliki fungsi positif (George Simmel, 1918; Lewis Coser, 1957), konflik menjadi dinamika sejarah manusia (Karl Marx, 1880; Ibnu Khaldun, 1332-1406), konflik menjadi entitas hubungan sosial (Max Weber, 1918/1947; Ralf Dahrendorf, 1959), dan konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow, 1954; Max Neef, 1987; John Burton, 1990, Marshal Rosenberg, 2003).
Sejarah peradaban manusia selalu diwarnai berbagai konflik kepentingan yang, tentu saja, menimbulkan korban. Konflik pertama dalam sejarah peradaban manusia adalah konflik antara Qabil dan Habil yang berakhir pada pembunuhan anak manusia pertama. Tidak dapat dipungkiri, konflik selalu mewarnai dinamika kehidupan manusia. Pertentangan ideologi, agama, suku, dan bangsa telah menimbulkan korban jiwa dan harta, bahkan mengarah kepada penghancuran peradaban. Dalam catatan sejarah, konflik sering diikuti aksi kekerasan, pembantaian, bahkan perang. Konflik yang terjadi di Poso, Ambon, Papua, Kalimantan, Mambi Sulawesi Barat, dan Baebunta Luwu Utara memberikan pembenaran terhadap pernyataan ini. Bahkan dalam skala dunia, pembenaran atas pernyataan ini ditunjukkan oleh pembantaian dan penghancuran peradaban bangsa Inca ketika invasi Spanyol ke benua Amerika pada abad 14, dan benturan kekerasan antar etnis Serbia terhadap etnis Bosnia di bekas Negara pecahan Yugoslavia. Demikian pula pembantaian missal etnis Hutu terhadap etnis minoritas Tutsi pada tahun 1994 (Susan, 2010: 9). Namun menurut Lewis Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif, tetapi juga memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya. Konflik yang bisa dikelola dengan arif dan bijaksana akan mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan. Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran atau fungsi positif dalam masyarakat. Menurut Coser, konflik membuat batasan-batasan diatara dua kelompok dalam system sosial dengan memperkuat kesadaran dan kesadaran kembali atas keterpisahan sehingga menciptakan kesadaran identitas kelompok dalam system (Susan, 2010: 59-60).
Konflik yang terjadi melalui tahapan prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat, dan pasca konflik (Fisher, 2000: 19). Prakonflik adalah priode pada saat terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik. Konfrontasi merupakan tahapan dimana hanya satu pihak yang merasa ada masalah yang memungkinkan para pendukungnya melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontasi. Krisis adalah puncak konflik dimana konflik pecah menjadi bentuk aksi-aksi kekerasan yang dilakukan secara intens dan massal. Dan tahap pasca konflik adalah situasi ketika konflik diakhiri, ketegangan berkurang, dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua belah pihak yang bertikai.
Pasca konflik bisa juga disebut sebagai tahapan deeskalasi konflik kekerasan. Deeskalasi konflik kekerasan bisa terjadi karena beberapa factor. Pertama, kedua belah pihak berkonflik menemukan pemecahan masalah dari konflik, sebagaimana penyelesaian konflik separatis GAM di Aceh. Kedua, salah satu pihak mengalami kekalahan luar biasa sehingga tidak memiliki kemampuan melanjutkan konflik, seperti kekalahan Saddam Husein di Irak atas invasi Amerika Serikat. Ketiga, semua pihak mengalami kehancuran dan tidak mampu melanjutkan konflik. Keempat, pihak berkonflik menghentikan sementara waktu konflik untuk menyusun strategi selanjutnya.
Dengan menganalisis dinamika konflik, bisa ditemukan langkah yang tepat untuk mengintervensi konflik. Intervensi konflik berarti masuk kedalam sistem hubungan yang sedang berlangsung, melakukan kontak di antara dua pihak atau beberapa pihak untuk membantu mereka (Moore, 2003). Ada beberapa bentuk dan tingkatan konflik. Pertama, peace making (menciptakan perdamaian). Kedua, peace keeping (menjaga perdamaian). Ketiga, conflict management (pengelolaan konflik) dalam bentuk negosiasi, mediasi, penyelesaian jalur hukum, arbitrase, dan workshop pemecahan masalah. Keempat, peace building (pembangunan perdamaian) yang merupakan proses peningkatan kesejahteraan, pembangunan infra struktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak bertikai (Susan, 2010: 104).
2.      Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sekolah
Habermas memahami masyarakat dalam paradigm ganda, yaitu sistem dan dunia-kehidupan. Sistem merupakan suatu keseluruhan jaringan fungsional objektif yang unsur-unsurnya saling tergantung satu sama lain secara kausal. Dunia-kehidupan (Lebenswelt) adalah hasil keterlibatan intersubjektif, sebuah horizon sosial yang bagaimanapun berubah dan berkembang dari waktu ke waktu dan terkait dengan konteks. Dunia–kehidupan mencakup kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian. Kebudayaan dipahami sebagai kumpulan pengetahuan sebagai acuan interpretasi individu dalaqm mencapai pemahaman tentang sesuatu. Masyarakat dipahami sebagai tatanan-tatanan yang sah yang menjadi wadah interaksi bermakna dan dengan demikian menjamin solidaritas para anggotanya. Kepribadian dipahami sebagai kompetensi-kompetensi yang memungkinkan subjek untuk berbicara dan bertindak dalam konteks komunikasi dan dengan cara itu dia menegaskan jati dirinya (Habermas, 1984: 142).
Dalam menjaga kelangsungan hidup dan identitasnya, masyarakat melangsung-kan proses-proses reproduksi dalam dunia-kehidupan yang mencakup tiga fungsi, yaitu reproduksi kultural, integrasi sosial, dan sosialisasi (Habermas, 1984: 140). Reproduksi kultural adalah proses-proses yang menjamin kontinuitas tradisi dan koherensi pengetahuan praktis sehari-hari yang diukur dengan rasionalitas pengetahuan yang dianggap sahih.atau dengan kata lain dicapai dengan konsesnsus. Integrasi sosial merupakan proses-proses yang memelihara koordinasi tindakan-tindakan sosial dengan menata hubungan antarpribadi dan dengan menstabilkan identitas kelompok-kelompok sejauh memadai bagi praktik hidup sehari-hari.yang diukur melalui solidaritas diantara para anggota masyarakat. Sosialisasi adalah proses-proses yang menjamin generasi demi generasi mencapai kompetensi-kompetensi umum bagi tindakan mereka sehingga mereka memandang sejarah hidup individual mereka selaras dengan bentuk kehidupan kolektif mereka yang diukur dengan tanggungjawab pribadi-pribadi itu,
Beberapa gangguan proses-proses reproduksi dalam dunia-kehidupan muncul pada tiga fungsi reproduksi (Habermas, 1984: 143). Jika wilayah reproduksi kultural terganggu maka akan memunculkan krisis kebudayaan dalam bentuk hilangnya makna, krisis sosial dalam bentuk krisis legitimasi, krisis kepribadian dalam bentuk krisis orientasi. Jika wilayah integrasi sosial terganggu maka akan  muncul krisis kebudayaan dalam bentuk rasa ketidakpastian akan identitas kolektif, krisis social dalam bentuk anomi, dan krisis kepribadian dalam bentuk alienasi. Jika wilayah sosialisasi terganggu maka akan muncul krisis kebudayaan dalam bentuk keterputusan dengan tradisi, krisis sosial dalam bentuk krisis motivasi, dan krisis kepribadian dalam bentuk psikopatologi (sakit jiwa).
Kehidupan sekolah merupakan kehidupan sosial yang dinamis seperti yang August Comte  sebut sebagai social dynamic. Kehidupan sekolah merupakan bentuk kehidupan sosial dimana warga sekolah hidup bersama dalam  kelompok untuk memenuhi naluri manusia sebagai makhluk social. Kehidupan sekolah mengalami proses  sosial dimana warga sekolah bertemu, berinteraksi, dan berkomunikasi sehingga melahirkan sistem sosial dan pranata social serta semua aspek kebudayaan (Bungin, 2009: 55). Dalam kehidupan sekolah terjadi pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama yang oleh Soerjono Soekamto sebut sebagai  proses sosial (Soekanto, 2002: 66). Proses sosial ini kemudian mengalami dinamika secara terus menerus mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.
Interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sekolah dapat menimbulkan dua golongan proses sosial, yaitu proses sosial assosiatif dan proses sosial dissosiatif. Proses assosiatif adalah suatu proses yang terjadi saling pengertian dan kerjasama (gotong royong, bargaining, cooptation, coalition, joint-venture), timbal balik antara warga sekolah, orang perorang atau kelompok satu dengan yang lainnya serta akomodasi (coercion, comproimise,, mediation,, conciliation, toleration,, stalemate, adjudication), dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan-tujuan bersama.  Proses disosiatif merupakan proses perlawanan atau oposisi (persaingan/competition, pertentangan konsep/controversion, dan conflict) yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok dalam proses sosial diantara mereka pada suatu masyarakat ((Soekanto, 2002: 71-104).
Kimball Young dan Raymond, W. Mack dalam Sociology and Social Life mengemukakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sekolah, bahkan tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama (1959: 137). Dalam kehidupan sekolah, terutama dalam kegiatan pembelajaran, interaksi sosial dapat dibangun dengan mempromosikan kegiatan pembelajaran dalam kelompok. Secara sosio-logis, istilah kelompok berarti suatu kumpulan orang-orang yang saling berinteraksi satu sama lain, baik antar individu, individu dengan kelompok, maupun antar kelompok. Interaksi yang dibangun tersebut diharapkan dapat mengarah kepada interaksi edukatif yang mampu mengembangkan potensi peserta didik dalam kehidupan sekolah. Interaksi edukatif merupakan salah satu aspek yang sering diabaikan dalam kehidupan sekolah. Para pendidik sering lebih fokus pada upaya peningkatan mutu akademik peserta didik. Hal ini sulit dihindari oleh para pendidik di sekolah karena sistem penilaian selama ini lebih menekankan pada aspek akademik dan mengabaikan aspek sosial dan spiritual. Harapan baru kemudian lahir seiring diberlakukannya kurikulum 2013 yang menem-patkan Kompetensi Inti (1) Sikap Spiritual dan Kompetensi Inti (2) Sikap Sosial pada posisi utama dan penting sebelum Kompetensi Inti (3) Pengetahuan dan Kompetensi Inti (4) Keterampilan.
Interaksi edukatif dalam kehidupan sekolah diharapkan bisa dicapai melalui kesadaran penuh pendidik bahwa tugas mendidik merupakan tugas mulia dan komprehensif. Mendidik berarti menunjukkan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan sekolah. Kepribadian atau karakter kuat pendidik dalam pembelajaran sangat menentukan keberhasilannya dalam pembelajaran. Disamping itu, interaksi edukatif juga ditentukan oleh kompetensi dan profesionalitas tenaga pendidik dalam pembelajaran. Thomas Gordon mengemuka-kan bahwa dalam upaya membangun interaksi edukatif yang lebih efektif, pendidik membutuhkan keterampilan berkomunikasi agar mampu berinteraksi secara edukatif, mengembangkan potensi peserta didik baik individu maupun kelompok (1997: 3).

C.     PENUTUP
Ada beberapa kata kunci yang dapat dikemukakan disini berkaitan dengan interaksi sosial dalam kehidupan sekolah, sebagai berikut:
1.      Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia melalui kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication),  baik secara langsung (kontak sosial primer) maupun melalui perantara baik sifatnya manusiawi maupun teknologi (kontak sosial sekunder).
2.       Interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sekolah dapat menimbulkan dua golongan proses sosial, yaitu proses sosial assosiatif (saling pengertian dan kerjasama) dan proses sosial dissosiatif (perlawanan, persaingan, pertentangan konsep, dan konflik) yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok dalam proses sosial dalam kehidupan sekolah. Kedua golongan proses sosial tersebut patut menjadi pertimbangan dalam menyusun dan menetapkan strategi yang tepat dalam pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Qur’an al-Karim.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984.
Arifin, H.M. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Ashraf, Ali. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Firdaus, 1989.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999.
Badruzzaman, Rosdiana, H, Siradjuddin Ismail, dan Mujizatullah. Implementasi Pendidikan Agama di Daerah Pasca Konflik. Cet. I; Makassar: Cahaya Mujur Lestari, 2009.
Bloom, Benjamin S. Taxonomy of Educational Objectives Handbook, I: Cognitive Domain. New York: Longman Inc., 1956.
Buchori, Mochtar. “Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan,” dalam M. Dawam Rahardjo. Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989.
Bucher, Charles A. Foundations of Physical Education. Saint Louis: The C.V. Mosby Company, 1975.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik. Dan Ilmu Sosial Lainnya. Ed. 1, Cet. 4; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Cronbach, Lee J. Educatioonal Psychology. New York: Hartcourt Brace  Jovanovich, 1977.
Daniel O’leary and Susan G O’leary. Classroom Management. New York: Pergamon Press Inc., 1972.
Darwis, Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam, Sejarah, Ragam, dan Kelembagaan. Cet. II; Semarang: RaSAIL, 2010.
Djohar. Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Lesfi, 2003.
Endrotomo. Masalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Surabaya: P3AI ITS, 2004.
Gillin, John Lewis Philip Gillin. Cultural Sociology. New York: The MacMillan Company, 1952.
Fisher, Simon. Manajemen Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: British Council, 2000.
Fowler, H.W. and F.G. Fowler, The Coincise Oxford Dictionary of Current English. Fourth Ed., London: Oxford University Press, 1958.
Fromm, Erich. Psychoanalysis and Religion. New Haven & London: Yale University, 1976.
Fullan, Michael. The Meanoing of Educational Change. USA: OISE Press, The Ontario Institute for Studies in Education, 1982.
Gordon, Thomas. Menjadi Guru Efektif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Hasan, Muhammad Tolchah. Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press, 2006.
Hopkins & Wideen. Alternative Perspectives on School Improvement. London and New York: The Falmer Press, 1984.
Jalal, Abdul Fattah. Azas-azas Pendidikan Islam. Terj. Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro, 1988.
Langgulung, Hasan. Azas-azas Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Husna, 1987.
Magee J. Philosophical Analysis in Education. New York: London Harper and Row Boston, 1971.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif,1989.
Maslow, Abraham H. “A Theory of Human Motivation” , dalam Robert V. Githrie (ed), Psychology of the World Today, An Interdiciplinary Approach. California: Addison-Wesley Publishing Company, 1971.
Moore, Christoper W. Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflct. USA: Jossey-Bass, 2003.
Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Ed. 1; Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2009.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasiopnal Pendidikan.
Razmal, Abdul Muin. 2001. “Konflik Sosial Antara Masyarakat Rongkong dan Baebunta di Kecamatan Baebunta Kabupaten Luwu Utara.” Thesis Pasca Sarjana, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Makassar.
Quthb, Muhammad. Sistem Pendidikan Islam. Terj. Salman Harun, Bandung: Al-Ma’arif, 1988.
Sergiovanni, T.J. The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacons, Inc., 1987.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Cet. 21; Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Soekarno dan Ahmad Supandi. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa. 1985.
Sumartana, Th. “Pluralisme, Konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan Antar Agama di Indonesia”, dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Cet. I;  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Surakhmad, Winarno. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Cet.1; Bandung: CV. Mandar Maju, 1994.
Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Cet. ke-2; Jakarta: Kencana, 2010.
Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. Ketiga; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera Indonesia, 1998.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Kedua,  Cet. kesembilanbelas; Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Watt, W.M. Islamic Philosophy and Theology. Edinburg: The University Press, 1979.

Guru di Tengah Perubahan Kurikulum

GURU DI TENGAH PERUBAHAN KURIKULUM
Oleh: Hilal Mahmud*)
Abstrak: Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa. Dipandang dari dimensi pembelajaran, peranan guru tetap dominan sekalipun teknologi pembelajaran berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh sejumlah dimensi proses pembelajaran yang diperankan guru tidak dapat digantikan oleh teknologi. Guru sebagai salah satu agen perubahan merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Semua komponen lain, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, biaya, dan sebagainya tidak akan banyak berarti apabila esensi pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik tidak berkualitas. Semua komponen lain, terutama kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan oleh guru yang berkualitas. Peran penting guru dalam upaya peningkatan mutu pendidikan mendorong perhatian dan harapan masyarakat terhadap peningkatan mutu guru. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah juga menunjukkan keberpihakan dan harapan pemerintah terhadap peningkatan mutu guru. Tetapi dalam tataran implementasi, keberpihakan pemerintah dan pemerintah daerah terhadap pembinaan guru sesuai amanah Undang-Undang masih perlu ditelisik lebih jauh.
Kata Kunci: Guru, Perubahan Kurikulum
A.    Pendahuluan
Masalah guru selalu menjadi perbincangan hangat dan menarik perhatian masyarakat. Hal ini terjadi bukan hanya karena peran interaktif guru yang tidak bisa digantikan oleh teknologi, tetapi juga karena peran kunci guru dalam menentukan mutu pendidikan. Mohammad Fakry Gaffar dalam pengantar buku Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, menegaskan bahwa peranan guru sulit digan-tikan yang lain. Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa. Dipandang dari dimensi pembelajaran, peranan guru tetap dominan sekalipun teknologi pembelajaran berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh dimensi-dimensi proses pembelajaran yang diperankan guru tidak dapat digantikan oleh teknologi (Supriadi, 1998: xv). Di Era Digital ini peranan teknologi dalam pembelajaran semakin besar, namun fungsi guru sebagai pendidik sulit tergantikan. Dasar pendidikan adalah cinta dan kasih sayang yang tulus. Seperti kata Federico Mayor, mantan Menteri Pendidikan Spanyol, “There is only one pedagogy… the pedagogy of love” (dalam Supriadi, 1998: 8). Cinta dan kasih sayang hanya bisa diberikan oleh guru, tidak oleh teknologi.
Ronald Brandt dalam Educational Leadership, sebagaimana dikutip Supriadi (1998: 178), menyatakan bahwa hampir semua usaha reformasi dalam pen-didikan seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan metode mengajar baru akhir-nya tergantung kepada guru. Tanpa penguasaan guru terhadap kurikulum, bahan pembelajaran, metode dan strategi pembelajaran maka upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Studi Heyneman dan Loxley di 29 negara menemukan bahwa di 16 negara sedang berkembang (India, Mesir, Botswana, Thailand, Chile, El-Salvador, Kolombia, Meksiko, Brazil, Argentina, Peru, Uganda, Hongaria, Paraguay, Iran, Bolivia), guru memberikan kontribusi terha-dap prestasi belajar sebesar 34%, manajemen 22%, waktu belajar 18% dan sarana fisik 26%. Di 13 negara industri (Amerika Serikat, Inggeris, Skotlandia, Belanda, Jerman, Swedia, Belgia yang meliputi tiga kelompok etnis, Selandia Baru, Australia, Italia, Jepang) kontribusi guru terhadap mutu pendidikan adalah 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22%, dan sarana fisik 19% (dalam Supriadi, 1998: 178-179).
Guru sebagai salah satu agen perubahan merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Semua komponen lain, mulai dari kuriku-lum, sarana prasarana, biaya, dan sebagainya tidak akan banyak berarti apabila esensi pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik tidak berkualitas. Semua komponen lain, terutama kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan oleh guru yang berkualitas. Robbins mengemukakan bahwa agen perubahan adalah orang yang bertindak sebagai katalis dan memperkirakan tanggungjawab untuk mengelola akti-vitas perubahan. Sumber daya manusia, terutama yang menduduki jabatan kunci merupakan agen perubahan. Kepala sekolah dan juga guru profesional harus mampu bertindak sebagai agen perubahan dan memperkirakan tanggung jawab untuk menge-lola aktivitas perubahan, yaitu merencanakan program dan tindakan, menetapkan sa-saran, fokus pada masalah, memecahkan masalah, memperbaiki situasi, mengatasi kesulitan dan mengevaluasi hasil dari usaha terencana. (Wibowo, 2011: 149). Peran penting guru dalam upaya peningkatan mutu pendidikan mendorong perhatian dan harapan masyarakat terhadap peningkatan mutu guru. Pertanyaannya adalah sejauh mana perhatian pemerintah terhadap peningkatan mutu guru dalam pembelajaran?
Jika merujuk kepada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah maka nam-pak keberpihakan dan harapan pemerintah terhadap peningkatan mutu guru. Undang-undang mengamanahkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan laya-nan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Pendidik dan tenaga kepen-didikan berhak memperoleh: a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; b)  penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c) pem-binaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; d) perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak  atas hasil kekayaan intelektual; dan e) kesem-patan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menun-jang kelancaran pelaksanaan tugas (pasal 40 ayat 1). Tetapi apakah dalam tataran implementasi pemerintah dan pemerintah daerah menunjukkan keberpihakan yang sama sesuai amanah Undang-Undang? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan mendasar itu dengan mengungkap potret guru ideal dikaitkan dengan perubahan kurikulum dan peningkatan mutu guru. 
B.     Pembahasan
1.      Perubahan Kurikulum dan Peningkatan Mutu Guru
Perubahan kurikulum atau lebih tepatnya pengembangan kurikulum, cu-kup menarik perhatian baik masyarakat maupun pemerintah. Perhatian ini ditunjuk-kan dengan respon masyarakat terhadap perubahan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah pun begitu bergairah melakukan berbagai pengembangan kurikulum. Perhatian terhadap pengembangan kurikulum sering dimaknai sebagian pihak sebagai kunci kemajuan pendidikan sehingga kadang-kadang melupakan dimensi-dimensi lain, termasuk guru, yang justeru lebih substansial. Sejarah mencatat bahwa kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa kali pengembangan. Dalam Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia (Depdikbud, 1995: 414-420) dikemukakan bahwa kurikulum yang pertama kali digunakan di sekolah Indonesia adalah Kurikulum 1947 dan 1950, kemudian selanjutnya kurikulum terus mengalami pengembangan, yaitu Kurikulum 1958 berlaku 1964, Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994. Seiring ditetapkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka kurikulum pun diubah menjadi Kurikulum 2004, kemudian dikembangkan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) se-lanjutnya menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan sekarang Kurikulum 2013.
Pengembangan kurikulum merupakan suatu kegiatan yang harus dilaku-kan secara terus menerus dan berkelanjutan. Namun, menurut Muhaimin (2009: 151), biasanya pengembangan kurikulum yang dilakukan lebih banyak disibukkan dan berhenti pada aspek curriculum plan (kurikulum sebagai dokumen). Sedangkan aspek actual curriculum (kegiatan nyata) biasanya terlupakan. Masalah proses pembelajaran dimana guru berperan penting di dalamnya sering diabaikan. Lihat saja, Kurikulum 2004, KBK, sampai KTSP berlaku dan berubah begitu cepat tanpa memberi ruang yang cukup bagi para guru untuk memahami kurikulum-kurikulum tersebut melalui workshop atau diklat. Yang terjadi adalah pencetakan buku-buku berdasarkan (pada-hal sering tidak sesuai) kurikulum yang berlaku. Akibatnya, para guru menyelengga-rakan pembelajaran di kelas hanya mengikuti urutan-urutan bahan yang tertera dalam buku tanpa berusaha mengembangkan bahan ajar sendiri sesuai situasi kondisi peserta didik yang dihadapi. Akibat lain adalah para orangtua peserta didik merasa terbebani dalam memenuhi kebutuhan buku anak-anaknya yang memang tersedia banyak dan lebih mudah diperoleh dibanding jika guru harus mengembangkan sendiri bahan ajarnya.
Ketika Kurikulum 2013 dinyatakan berlaku oleh pemerintah, hal pertama yang terdengar adalah rencana pemerintah menerbitkan buku (sesuai) kurikulum 2013 dengan biaya trilyunan. Sementara workshop atau diklat guru untuk memberikan pe-mahaman kepada guru agar dapat mengimplementasikan kurikulum tersebut denganu baik dan benar, belum terdengar. Padahal, berbagai penelitian yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa mutu guru berkontribusi sangat besar terhadap pening-katan prestasi peserta didik. Para guru sering meradang (dalam hati): “kalau saya dilatih kurikulum baik aspek perencanaan, implementasi, maupun evaluasinya maka saya bisa menggunakan buku-buku ajar lama yang ada selama ini untuk melaksana-kan amanah kurikulum dalam pembelajaran yang berkualitas”. Disini letak masalah-nya. Kurikulum baru berlaku, buku baru dicetak menggusur buku lama yang sudah dibeli mahal oleh peserta didik, para guru harus menggunakan kurikulum tersebut tanpa dibekali ilmu dalam mengimplementasikan kurikulum tersebut, dan orangtua peserta didik cemas memikirkan jumlah fulus yang harus disiapkan untuk membeli buku baru (yang sesuai?) kurikulum baru.
Pada pasal 34 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 ditegaskan bahwa: a) pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifika-si akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat; b) satuan pendidikan yang dise-lenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi aka-demik dan kompetensi guru; c) pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pen-didikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyara-kat. Jika merujuk pada aturan ini maka tidak ada alasan untuk tidak memberikan kesempatan pertama dan dukungan dana kepada para guru Indonesia untuk mengem-bangkan kualifikasi akademik dan kompetensinya seiring pengembangan kurikulum itu sendiri.
Undang-undang yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan pendidik-an yang bermutu mewajibkan pengembangan kualifikasi dan kompetensi guru, na-mun polemik pendidikan di Indonesia selama ini masih berkutat pada persoalan dana, pengadaan infrastruktur dan bongkar pasang kurikulum. Sejak UU No. 20/2003 ten-tang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan berlaku, kurikulum telah mengalami perubahan beberapa kali, yaitu kurikulum 2004, KBK, KTSP, dan Kurikulum 2013. Pemberlakuan kurikulum-kurikulum itu tidak diikuti dengan pelatihan guru yang memadai. Akibatnya, para guru terpaksa merancang, melaksanakan pembelajaran, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran tanpa pemahaman yang cukup memadai tentang kurikulum yang digunakan.
Upaya pengembangan kurikulum seyogyanya diikuti oleh program peningkatan mutu guru. Peran guru dalam menerjemahkan pesan kurikulum kedalam kegiatan pembelajaran sangat signifikan. Namun uji kompetensi yang dilaksanakan tidak lama ini menunjukkan bahwa penguasaan kompetensi (pedagogik, personal, sosial, dan professional) guru masih sangat rendah. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diikuti 243.619 orang guru secara nasional masih sangat memprihatinkan, yaitu rata-rata 44,5 (Seputar Indonesia, Edisi SULSEL & SULBAR, Nomor 2575 Tahun ke 8, 6 Agustus 2012, h. 4). Sementara itu, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diikuti 1.134 guru di kota Palopo menunjukkan kelemahan guru dalam penguasaan penggunaan aplikasi berbagai media pembela-jaran berbasis Teknologi Informasi (Information Technology) baik presentasi, animasi, dan lain lain.  Hasil Uji Kompetensi Guru tersebut menunjukkan bahwa hanya ada 10 orang guru yang berhasil meraih nilai standar 70, selebihnya (1.124 guru) masih di bawah standar (Seputar Indonesia,  Edisi SULSEL & SULBAR, Nomor 2575 Tahun ke 8, 3 Agustus 2012, h. 12).
2.      Guru Ideal Guru Idola
Di negara manapun guru diakui sebagai suatu profesi. Di Indonesia guru Indonesia dipertegas sebagai suatu profesi dengan ditetapkannya Undang-undang No-mor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa guru adalah pendidik profesional yang bertugas merencanakan dan melaksana-kan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (UU No. 20/2003 Bab XI pasal 39 ayat 2 dan UU No.14/2005 Bab I pasal 1 ayat 1). Sebagai suatu profesi, guru Indonesia wajib memiliki kualifikasi akademik (minimal S1), kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesi), sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki ke-mampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (UU No. 14/2005 Bab IV pasal 8).
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru Indonesia berhak: a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b) mendapat promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; d) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; e) memperoleh dan memanfaatkan sarana prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalannya; f) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut me-nentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; g) memper-oleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; h) memiliki ke-bebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; i) memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; j) memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau k) memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya (UU No. 14/2005 Bab IV pasal 14).
Disamping hak yang telah dikemukakan di atas, dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya guru Indonesia berkewajiban: a) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; c) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertim-bangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;  d) menjun-jung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan e) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa (UU No. 14/2005 Bab IV pasal 20).
Pada abad 21 guru, menurut Gerstner (1995), tidak lagi tampil sebagai pengajar sebagaimana fungsinya selama ini, melainkan sebagai  pelatih, konselor, manajer belajar, partisipan, pemimpin, dan pelajar. Sebagai pelatih, guru membantu dan mendorong peserta didik untuk menguasai alat belajar, memotivasi untuk men-capai prestasi dengan kerja keras, kerja sama, menghargai nilai belajar dan penge-tahuan. Sebagai konselor, guru tidak hanya menjadi sahabat peserta didik, tetapi juga teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat. Sebagai manajer  belajar, guru membimbing, mengambil prakarsa, menyampaikan ide-ide cerdas kepada peserta didik. Guru juga terlibat dalam pembelajaran sebagai partisipan, tetapi tetap memim-pin jalannya pembelajaran. Pada abad 21 bukan hanya peserta didik yang belajar, tetapi juga para guru, kepala sekolah, bahkan semua stakeholder sekolah menjadi pembelajar.
Bagaimana sosok ideal seorang guru? Ada beragam pandangan dalam melihat sosok ideal seorang guru. Gerstner dkk. (1995) membedakan ciri ideal guru berdasarkan kultur. Di Amerika ciri utama guru ideal adalah kepekaan dan kesabaran. Guru diharapkan tampil sebagai seorang yang penuh prakarsa, inovatif, orisinal, dan inventif. Resikonya adalah guru Amerika enggan meniru apa yang dilakukan guru lain. Di Cina dan Jepang adalah kejelasan (mampu menjelaskan dan mudah dipa-hami) dan kegairahan dalam berkomunikasi. Guru diharapkan tampil sebagai pelaku yang terampil (skilled performer). Bagi Ki Hajar Dewantoro, guru ideal adalah Ing ngarso sung tulodo Ing madyo mangun karso Tutwuri handayani (keteladanan, prakarsa, dan motivasi). Di Indonesia guru ideal adalah guru yang memiliki ciri guru profesional seperti diatur dalam Undang-undang Guru dan Dosen, yaitu memiliki: kualifikasi akademik (minimal S1), kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesi), sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Guru ideal sejatinya menjadi idola. Setiap peserta didik punya guru idola. Ada yang mengidolakan gurunya karena guru itu cerdas. Ilmunya seperti mata air yang mengalir tanpa henti. Memberikan sebanyak-banyaknya ilmu dengan ikhlas, tanpa pamrih. Kehadirannya di kelas selalu dinanti dan membuat peserta didiknya merasa belajar sangat menyenangkan. Ada kenikmatan tersendiri berada di kelas yang penuh keramahan dan senyum. Peserta didik yang lain mengidolakan gurunya karena guru itu simpatik, rendah hati, dan menebar senyum sambil menyapa dengan ramah. Gaya bicaranya selalu menyejukkan hati. Sabar ketika menemukan peserta didiknya bandel. Ada pula yang mengidolakan gurunya karena guru itu memiliki keperibadian khas, unik. tegas tetapi rendah hati. Matanya bisa merah menyala dengan suara meng-gelegar ketika membela kebenaran. Tetapi air matanya bisa dengan mudah menetes tanpa malu ketika hatinya tersentuh.
Pertanyaannya adalah apakah Anda dan Saya termasuk salah satu pendidik yang berbahagia diidolakan oleh peserta didiknya? Untuk menjawab ini, kita perlu selalu introspeksi dan mengevaluasi diri pada kelompok mana kita berada. LonAnne Johnson membagi guru menjadi tiga yaitu guru Super, guru Excellent, dan guru Good. Guru Super yaitu guru yang menikmati hubungan yang solid dengan murid-nya. Pada saat menjalankan tugasnya, ia merasakan sensasi ketagihan kerja. Guru Excelent adalah guru yang menikmati pekerjaannya tetapi membatasi jumlah waktu dan energi yang dibaktikan untuk mengajar. Ia peduli dan melakukan yang terbaik bagi siswanya tetapi tidak melupakan, apalagi mengorbankan kebutuhan keluarga. Guru Good adalah guru yang bekerja baik tetapi memahami batasan tugasnya. Ia membuat batasan yang jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi.
Sementara itu, Rani Pardini mengemukakan tiga model guru yaitu guru Okupasional, guru Profesional, dan guru Vokasional. Guru Okupasional adalah guru yang menjalani profesinya hanya sekedarnya. Guru seperti ini tidak peduli dan tidak memperhatikan anak didiknya. Guru Profesional adalah guru yang memiliki tang-gung jawab lebih dan memenuhi kualifikasi dan kompetensi sesuai standar yang di-persyaratkan undang-undang. Guru Vokasional adalah guru yang menjalani profesi-nya sebagai sebuah panggilan (calling) sehingga menjalani tugasnya dengan antusias-me, passion, dan penuh komitmen serta terus mengembangkan diri dan meningkatkan mutu profesinya.
Menurut Lina Erlian Muksin, Psikolog Anak, guru idola memiliki tiga hal yaitu head, heart, dan hand. Head berarti guru itu memiliki kompetensi, wawasan yang luas, dan innovasi. Heart berarti bahwa dalam menyampaikan pelajaran guru itu harus melayani dengan hati, selalu berempati, dan penuh kehangatan. Hand berarti guru itu memiliki keterbukaan, dan sifat humoris. Tulisan ini, maaf, tidak bermaksud menggurui para guru. Saya yakin bahwa para guru Indonesia sangat memahami tugas dan tanggung jawabnya. Semua yang dikemukakan di atas sebenarnya sudah sangat akrab dan telah dipahami oleh para guru. Tetapi seperti kata A.L. Huxley: ‘Hidup yang besar bukanlah pengetahuan melainkan perbuatan’. Di Era generasi Digital ini hanya ada satu tantangan yang harus didobrak oleh para guru Indonesia yaitu kemau-an. Kemauan untuk berubah dan bertindak.
Pesatnya arus globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut peru-bahan sikap dan pola pikir pelaku pendidikan, terutama guru Indonesia. Knowledge to elevate, begitu tulisan yang tertera di bawah logo MetroTV yang selalu menggoda perhatian saya dan seharusnya menggoda guru untuk tergerak dan tidak sekedar ber-diri di atas elevator, tetapi berlari cepat agar tidak tertinggal jauh dari iptek. Kita ha-rus selalu mau berubah. Kurikulum berubah mengikuti perubahan zaman. Model pembelajaran harus berubah mengikuti tuntutan generasi kritis yang selalu berkata “why”. Media pembelajaran harus berubah mengikuti tuntutan arus globalisasi. Guru harus selalu berubah, kreatif, inovatif sehingga suasana belajar akan terjalin lebih hidup, akrab dan menyenangkan agar peserta didik bisa mencapai potensi terbaiknya. Dengan demikian, mereka akan betah di sekolah tanpa harus merepotkan Satpol PP merazianya di sudut-sudut jalan atau di pasar sebagaimana yang sering terjadi di beberapa kabupaten/kota yang masih mengalami kesenjangan digital.
Pendidikan pada dasarnya proses perubahan kehidupan. Sekarang saatnya menengok kembali sambil menarik napas yang dalam, merenung, memikirkan ulang apa yang mengubah anak didik dalam kehidupan sekolah. Bagi Eric Jensen (2010), penulis buku ‘Super Teaching’, relasi dan kepedulian yang membantunya menikmati pelajaran bahasa Inggeris dan model peran. Dalam pembelajaran yang paling berke-san dan diingat siswa adalah emosi. Emosi mempengaruhi keyakinan, keputusan, dan aksi yang dipilih terkait masa depan. Efek yang ditimbulkan emosi tetap bertahan. Kekuatan dari memori emosional langsung terjadi dan mengalir secara spiral ke dalam masa depan, mempengaruhi proses pengambilan keputusan, kata Eric Jensen (2010). Jadi, jangan sampai ada peserta didik merasa dipermalukan atau direndahkan oleh guru di depan kelas karena insiden itu bisa meninggalkan kesan buruk yang akan langsung mempengaruhi pikiran, perilaku, dan kepribadiannya yang berakibat fatal bagi keputusan masa depannya. Sudah saatnya memikirkan visi serta apa yang sepatutnya ditampilkan dalam melakukan karya pendidikan dalam kehidupan sekolah. Tentu, diperlukan cara berpikir baru dan cara pandang baru dalam mengantisipasi tuntutan arus globalisasi di Era Generasi Digital ini. Ada baiknya mempertimbangkan nasehat Albert Einstein: ‘Kita harus belajar untuk melihat dunia dengan cara baru’.
3.      Pemberdayaan Guru
Upaya pengembangan kurikulum memerlukan pemberdayaan sumber daya manusia guru. Jane Smith (dalam Wibowo, 2011b: 417-418) memandang bahwa ada dua hal yang menyebabkan perlunya pemberdayaan: 1) lingkungan eksternal telah berubah karena kompetisi yang semakin intensif, inovasi teknologi berubah cepat, permintaan atas kualitas dan nilai yang lebih tinggi, dan masalah ekologi; dan 2) orangnya sendiri berubah. Pemberdayaan penting dilakukan agar setiap guru merasa dirinya sebagai bagian dan turut serta dalam proses perubahan ke arah peningkatan mutu pendidikan. Memberdayakan guru berarti mendorong mereka menjadi lebih terlibat dalam keputusan dan aktivitas yang memengaruhi pekerjaan mereka sehingga mereka mendapat kesempatan untuk menunjukkan bahwa mereka mampu memberi-kan gagasan yang baik dan terampil mewujudkan gagasannya menjadi realitas.
Lebih dari itu, diperlukan pula sinergi dalam lingkungan yang memperkuat partisipasi. Upaya pengembangan kinerja guru tidak hanya dilakukan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah, tetapi juga dapat dilakukan oleh guru itu sendiri atau sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan melakukan kegiat-an yang dapat mendorong terbentuknya komunitas belajar untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI pasal 40 ayat 2 ditegaskan bahwa pendi-dik dan tenaga kependidikan berkewajiban: a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; b) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Kesadaran dan partisipasi guru, melalui pemberdayaan, dalam mewujudkan pendidikan bermutu tentunya sangat dibutuhkan. Apalagi, dalam kondisi inisiatif pemerintah dan pemerintah daerah untuk program peningkatan mutu guru masih lebih dalam tataran wacana dari pada implementasi.
Dalam rangka pemberdayaan guru, ada baiknya melihat model pengem-bangan kinerja guru yang dikemukakan oleh Uhar Suharsaputra. Uhar Suharsaputra (2010: 218-219) mengajukan suatu model pengembangan kinerja guru berbasis kompetensi melalui pendekatan individu serta pendekatan organisasi dan manajemen. Pendekatan individu menekankan pada penguatan individu dalam meningkatkan ke-mampuan serta motivasi tanpa mengintegrasikannya dengan organisasi dan manaje-men organisasi. Pendekatan organisasi dan manjemen merupakan pendekatan ter-integrasi dimana aspek individu menjadi bagian yang berinteraksi dengan tataran ke-lompok dan organisasi secara keseluruhan serta proses manajemen dan kepemim-pinan sebagai penggerak organisasi.
Ada sejumlah kegiatan pemberdayaan yang mendukung upaya peningkatan mutu guru, antara lain: Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan Lesson Study. Penelitian Tindakan Kelas (PTK), menurut Suharsimi Arikunto dkk. (2011:3), merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. PTK adalah kegiatan ilmiah sehingga laporan hasil PTK merupakan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang menjadi salah satu aspek pengembangan profesi guru. Sayangnya, PTK belum menjadi tradisi yang menggembirakan di sekolah. Padahal, melalui PTK guru dapat berlatih berpikir kritis, tanggap terhadap berbagai perubahan, dan memupuk kemampuan menyelesaikan masalah.
Lesson study sudah berkembang di Jepang sejak awal 1900an. Melalui kegi-atan tersebut guru-guru di Jepang mengkaji pembelajaran melalui perencanaan dan observasi bersama yang bertujuan untuk memotivasi peserta didiknya aktif belajar mandiri. Lesson Study merupakan terjemahan langsung dari bahasa Jepang jugyo-kenkyu, dari dua kata jugyo berarti lesson atau pembelajaran, dan kenkyu berarti study atau research atau pengkajian. Lesson study merupakan study atau penelitian atau pengkajian terhadap pembelajaran. Lesson study dapat diselenggarakan oleh kelom-pok guru di suatu sekolah/Lesson study berbasis sekolah dan dapat pula diselengga-rakan oleh kelompok guru mata pelajaran serumpun dalam MGMP/Lesson study berbasis MGMP (Rusman, 2010: 384-388).
C.    Penutup
Ada beberapa kata kunci mengapa peningkatan mutu guru penting di tengah perubahan kurikulum, sebagai berikut:
1.      Guru sebagai salah satu agen perubahan dan elemen kunci dalam sistem pendi-dikan, khususnya di sekolah, seyogyanya proaktif dalam mengantisipasi peru-bahan kurikulum.
2.      Pemerintah dan pemerintah daerah serta perguruan tinggi pencetak guru juga diharapkan cepat tanggap merespon perubahan dalam rangka peningkatan mutu guru dan calon guru.
*) Penulis adalah Dosen mata kuliah Administrasi Pendidikan dan Supervisi Pendidikan pada IAIN Palopo.

Daftar Rujukan
Arikunto, Suharsimi, dkk., Penelitian Tindakan Kelas. Cet. X; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.
Armstrong, Thomas. Sekolah Para Juara. Bandung: Kaifa, 2002.
_______ . Kamu Itu Lebih Cerdas daripada yang Kamu Duga. Batam: Interaksara, 2004.
_______ . Setiap Anak Cerdas. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005.
_______ . The Best School. Bandung: Kaifa, 2006.
Chatib, Munif. Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Cet. III; Bandung, 2011.
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie, Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas (Cet. II; Bandung: Kaifa, 2010.
Direktorat Pembinaan SMP Ditjen Dikdasmen Depdiknas. Panduan Pengembangan RPP, Jakarta: Depdiknas, 2006.
Direktorat Pembinaan SMP Ditjen Dikdasmen Depdiknas, Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar, Jakarta: Depdiknas, 2006.
Hamalik, Oemar. Model-model Pengembangan Kurikulum(Bandung: Program Pasca Sarjana UPI, 2000.
Haryanto. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Tineka Cipta, 2003.
_______. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Bandung: Alfabeta, 2002.
Jensen, Eric. Guru Super & Super Teaching, Lebih dari 1000 Strategi Praktis Pengajaran Super. Terj. Benyamin Molan, Jakarta Barat: PT. Indeks Permata Puri Media,  2010.
Gerstner, L.V. et al. Reinventing Education: Entrepreneurship in America’s Public Schools. New York: Plume, 1995.
Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam, Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Ed. 1, Cet. 1; Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Noe, Raymond A, John R. Hollenbeck, Barry Gerhart, Patrick M. Wright. Human Resource Management: Gaining A Competitive Advantage, terj. David Wijaya, 6th ed. Jakarta Selatan: Salemba Empat, 2011.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
_______ . Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
_______ . Undang-Undang R.I. Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Rivai, Veithzal, Deddy Mulyadi. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, ed. 3. Cet. 9; Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Rusman. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, ed. 1. Cet. 1; Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Smith, Jane. Empowering People. London: Kogan Page Limited, 2000.
Suharsaputra, Uhar. Administrasi Pendidikan. Cet, I; Bandung: PT. Refika Aditama, 2010.
Supriadi, Dedi. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Cet. 1; Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998.
Wibowo. Manajemen Kinerja. Ed. III. Cet. V; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011a.

_______. Manajemen Perubahan. Ed. 3. Cet. 3; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011b.