GURU DI TENGAH
PERUBAHAN KURIKULUM
Oleh: Hilal
Mahmud*)
Abstrak: Guru
memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa.
Dipandang dari dimensi pembelajaran, peranan guru tetap dominan sekalipun
teknologi pembelajaran berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh sejumlah
dimensi proses pembelajaran yang diperankan guru tidak dapat digantikan oleh
teknologi. Guru sebagai salah satu agen
perubahan merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Semua komponen lain, mulai dari
kurikulum, sarana prasarana, biaya, dan sebagainya tidak akan banyak berarti
apabila esensi pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik tidak
berkualitas. Semua komponen lain, terutama kurikulum akan “hidup” apabila
dilaksanakan oleh guru yang berkualitas. Peran penting
guru dalam upaya peningkatan mutu pendidikan mendorong perhatian dan harapan
masyarakat terhadap peningkatan mutu guru. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional serta berbagai peraturan
dan kebijakan pemerintah juga menunjukkan keberpihakan dan harapan pemerintah
terhadap peningkatan mutu guru. Tetapi dalam tataran implementasi, keberpihakan
pemerintah dan pemerintah daerah terhadap pembinaan guru sesuai amanah
Undang-Undang masih perlu ditelisik lebih jauh.
Kata Kunci:
Guru, Perubahan Kurikulum
A.
Pendahuluan
Masalah
guru selalu menjadi perbincangan hangat dan menarik perhatian masyarakat. Hal
ini terjadi bukan hanya karena peran interaktif guru yang tidak bisa digantikan
oleh teknologi, tetapi juga karena peran kunci guru dalam menentukan mutu
pendidikan. Mohammad Fakry Gaffar dalam pengantar buku Dedi Supriadi, Mengangkat
Citra dan Martabat Guru, menegaskan bahwa peranan guru sulit digan-tikan
yang lain. Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak
bangsa. Dipandang dari dimensi pembelajaran, peranan guru tetap dominan
sekalipun teknologi pembelajaran berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan
oleh dimensi-dimensi proses pembelajaran yang diperankan guru tidak dapat
digantikan oleh teknologi (Supriadi, 1998: xv). Di Era Digital ini peranan
teknologi dalam pembelajaran semakin besar, namun fungsi guru sebagai pendidik
sulit tergantikan. Dasar pendidikan adalah cinta dan kasih sayang yang tulus.
Seperti kata Federico Mayor, mantan Menteri Pendidikan Spanyol, “There is
only one pedagogy… the pedagogy of love” (dalam Supriadi, 1998: 8). Cinta
dan kasih sayang hanya bisa diberikan oleh guru, tidak oleh
teknologi.
Ronald Brandt dalam Educational Leadership, sebagaimana
dikutip Supriadi (1998: 178), menyatakan bahwa hampir semua usaha reformasi
dalam pen-didikan seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan metode mengajar
baru akhir-nya tergantung kepada guru. Tanpa penguasaan guru terhadap
kurikulum, bahan pembelajaran, metode dan strategi pembelajaran maka upaya
peningkatan mutu pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Studi
Heyneman dan Loxley di 29 negara menemukan bahwa di 16 negara sedang berkembang
(India, Mesir, Botswana, Thailand, Chile, El-Salvador, Kolombia, Meksiko,
Brazil, Argentina, Peru, Uganda, Hongaria, Paraguay, Iran, Bolivia), guru
memberikan kontribusi terha-dap prestasi belajar sebesar 34%, manajemen 22%,
waktu belajar 18% dan sarana fisik 26%. Di 13 negara industri (Amerika Serikat,
Inggeris, Skotlandia, Belanda, Jerman, Swedia, Belgia yang meliputi tiga kelompok
etnis, Selandia Baru, Australia, Italia, Jepang) kontribusi guru terhadap mutu
pendidikan adalah 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22%, dan sarana fisik 19%
(dalam Supriadi, 1998: 178-179).
Guru
sebagai salah satu agen perubahan merupakan elemen kunci dalam sistem
pendidikan, khususnya di sekolah. Semua komponen lain, mulai dari kuriku-lum, sarana prasarana,
biaya, dan sebagainya tidak akan banyak berarti apabila esensi pembelajaran
yaitu interaksi guru dengan peserta didik tidak berkualitas. Semua komponen
lain, terutama kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan oleh guru yang
berkualitas.
Robbins mengemukakan bahwa agen
perubahan adalah orang yang bertindak sebagai katalis dan memperkirakan
tanggungjawab untuk mengelola akti-vitas perubahan. Sumber daya manusia,
terutama yang menduduki jabatan kunci merupakan agen perubahan. Kepala sekolah
dan juga guru profesional harus mampu bertindak sebagai agen perubahan dan
memperkirakan tanggung jawab untuk menge-lola aktivitas perubahan, yaitu
merencanakan program dan tindakan, menetapkan sa-saran, fokus pada masalah,
memecahkan masalah, memperbaiki situasi, mengatasi kesulitan dan mengevaluasi
hasil dari usaha terencana. (Wibowo, 2011: 149). Peran penting guru dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan mendorong perhatian dan harapan masyarakat terhadap
peningkatan mutu guru. Pertanyaannya adalah sejauh mana perhatian pemerintah
terhadap peningkatan mutu guru dalam pembelajaran?
Jika merujuk kepada
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta
berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah maka nam-pak keberpihakan dan harapan pemerintah
terhadap peningkatan mutu guru. Undang-undang
mengamanahkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan laya-nan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Pendidik dan tenaga kepen-didikan berhak memperoleh: a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas
dan memadai; b) penghargaan sesuai dengan tugas
dan prestasi kerja; c) pem-binaan karier sesuai dengan tuntutan
pengembangan kualitas; d) perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan e) kesem-patan
untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menun-jang kelancaran pelaksanaan
tugas (pasal 40 ayat 1). Tetapi apakah dalam tataran implementasi
pemerintah dan pemerintah daerah menunjukkan keberpihakan yang sama sesuai
amanah Undang-Undang? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan mendasar itu
dengan mengungkap potret guru ideal dikaitkan dengan perubahan kurikulum dan
peningkatan mutu guru.
B.
Pembahasan
1.
Perubahan
Kurikulum dan Peningkatan Mutu Guru
Perubahan kurikulum atau lebih tepatnya pengembangan kurikulum, cu-kup
menarik perhatian baik masyarakat maupun pemerintah. Perhatian ini ditunjuk-kan
dengan respon masyarakat terhadap perubahan kurikulum yang dilakukan oleh
pemerintah. Pemerintah pun begitu bergairah melakukan berbagai pengembangan
kurikulum. Perhatian terhadap pengembangan kurikulum sering dimaknai sebagian
pihak sebagai kunci kemajuan pendidikan sehingga kadang-kadang melupakan
dimensi-dimensi lain, termasuk guru, yang justeru lebih substansial. Sejarah
mencatat bahwa kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa kali
pengembangan. Dalam Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia
(Depdikbud, 1995: 414-420) dikemukakan bahwa kurikulum yang pertama kali
digunakan di sekolah Indonesia adalah Kurikulum 1947 dan 1950, kemudian
selanjutnya kurikulum terus mengalami pengembangan, yaitu Kurikulum 1958
berlaku 1964, Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994. Seiring ditetapkannya
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka
kurikulum pun diubah menjadi Kurikulum 2004, kemudian dikembangkan menjadi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) se-lanjutnya menjadi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), dan sekarang Kurikulum 2013.
Pengembangan kurikulum merupakan suatu kegiatan yang harus dilaku-kan
secara terus menerus dan berkelanjutan. Namun, menurut Muhaimin (2009: 151),
biasanya pengembangan kurikulum yang dilakukan lebih banyak disibukkan dan
berhenti pada aspek curriculum plan (kurikulum sebagai dokumen).
Sedangkan aspek actual curriculum (kegiatan nyata) biasanya terlupakan. Masalah
proses pembelajaran dimana guru berperan penting di dalamnya sering diabaikan.
Lihat saja, Kurikulum 2004, KBK, sampai KTSP berlaku dan berubah begitu cepat
tanpa memberi ruang yang cukup bagi para guru untuk memahami
kurikulum-kurikulum tersebut melalui workshop atau diklat. Yang terjadi adalah
pencetakan buku-buku berdasarkan (pada-hal sering tidak sesuai) kurikulum yang
berlaku. Akibatnya, para guru menyelengga-rakan pembelajaran di kelas hanya
mengikuti urutan-urutan bahan yang tertera dalam buku tanpa berusaha
mengembangkan bahan ajar sendiri sesuai situasi kondisi peserta didik yang
dihadapi. Akibat lain adalah para orangtua peserta didik merasa terbebani dalam
memenuhi kebutuhan buku anak-anaknya yang memang tersedia banyak dan lebih
mudah diperoleh dibanding jika guru harus mengembangkan sendiri bahan ajarnya.
Ketika Kurikulum 2013 dinyatakan berlaku oleh pemerintah, hal
pertama yang terdengar adalah rencana pemerintah menerbitkan buku (sesuai)
kurikulum 2013 dengan biaya trilyunan. Sementara workshop atau diklat guru
untuk memberikan pe-mahaman kepada guru agar dapat mengimplementasikan
kurikulum tersebut denganu baik dan benar, belum terdengar. Padahal, berbagai
penelitian yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa mutu guru
berkontribusi sangat besar terhadap pening-katan prestasi peserta didik. Para
guru sering meradang (dalam hati): “kalau saya dilatih kurikulum baik aspek
perencanaan, implementasi, maupun evaluasinya maka saya bisa menggunakan
buku-buku ajar lama yang ada selama ini untuk melaksana-kan amanah kurikulum
dalam pembelajaran yang berkualitas”. Disini letak masalah-nya. Kurikulum baru
berlaku, buku baru dicetak menggusur buku lama yang sudah dibeli mahal oleh
peserta didik, para guru harus menggunakan kurikulum tersebut tanpa dibekali
ilmu dalam mengimplementasikan kurikulum tersebut, dan orangtua peserta didik
cemas memikirkan jumlah fulus yang harus disiapkan untuk membeli buku baru
(yang sesuai?) kurikulum baru.
Pada pasal 34 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005
ditegaskan bahwa: a) pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan
mengembangkan kualifika-si akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat;
b) satuan pendidikan yang dise-lenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan
mengembangkan kualifikasi aka-demik dan kompetensi guru; c) pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas
dan pengabdian guru pada satuan pen-didikan yang diselenggarakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyara-kat. Jika merujuk pada aturan ini maka
tidak ada alasan untuk tidak memberikan
kesempatan pertama dan dukungan dana kepada para guru Indonesia untuk mengem-bangkan
kualifikasi akademik dan kompetensinya seiring pengembangan kurikulum itu
sendiri.
Undang-undang yang menjadi landasan
dalam penyelenggaraan pendidik-an yang bermutu mewajibkan pengembangan
kualifikasi dan kompetensi guru, na-mun polemik pendidikan di Indonesia selama
ini masih berkutat pada persoalan dana, pengadaan infrastruktur dan bongkar
pasang kurikulum. Sejak UU No. 20/2003 ten-tang Sistem Pendidikan Nasional
ditetapkan berlaku, kurikulum telah mengalami perubahan beberapa kali, yaitu
kurikulum 2004, KBK, KTSP, dan Kurikulum 2013. Pemberlakuan kurikulum-kurikulum
itu tidak diikuti dengan pelatihan guru yang memadai. Akibatnya, para guru
terpaksa merancang, melaksanakan pembelajaran, dan melaksanakan evaluasi
pembelajaran tanpa pemahaman yang cukup memadai tentang kurikulum yang
digunakan.
Upaya pengembangan kurikulum
seyogyanya diikuti oleh program peningkatan mutu guru. Peran guru dalam
menerjemahkan pesan kurikulum kedalam kegiatan pembelajaran sangat signifikan. Namun
uji kompetensi yang dilaksanakan tidak lama ini menunjukkan bahwa penguasaan
kompetensi (pedagogik, personal, sosial, dan professional) guru masih sangat
rendah. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diikuti 243.619
orang guru secara nasional masih sangat memprihatinkan, yaitu rata-rata 44,5 (Seputar
Indonesia, Edisi SULSEL & SULBAR, Nomor 2575 Tahun ke 8, 6 Agustus 2012, h.
4). Sementara itu, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diikuti 1.134 guru di
kota Palopo menunjukkan kelemahan guru dalam penguasaan penggunaan aplikasi
berbagai media pembela-jaran berbasis Teknologi Informasi (Information
Technology) baik presentasi, animasi, dan lain lain. Hasil Uji Kompetensi Guru tersebut
menunjukkan bahwa hanya ada 10 orang guru yang berhasil meraih nilai standar
70, selebihnya (1.124 guru) masih di bawah standar (Seputar Indonesia, Edisi SULSEL & SULBAR, Nomor 2575 Tahun
ke 8, 3 Agustus 2012, h. 12).
2.
Guru Ideal Guru
Idola
Di
negara manapun guru diakui sebagai suatu profesi. Di Indonesia guru Indonesia
dipertegas sebagai suatu profesi dengan ditetapkannya Undang-undang No-mor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa guru
adalah pendidik profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksana-kan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (UU
No. 20/2003 Bab XI pasal 39 ayat 2 dan UU No.14/2005 Bab I pasal 1 ayat 1). Sebagai suatu
profesi, guru Indonesia wajib memiliki kualifikasi akademik (minimal S1),
kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesi), sertifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki ke-mampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional (UU No. 14/2005 Bab IV pasal 8).
Dalam
melaksanakan tugas keprofesionalannya, guru Indonesia berhak: a) memperoleh
penghasilan di atas kebutuhan minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b)
mendapat promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c)
memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; e) memperoleh dan
memanfaatkan sarana prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas
keprofesionalannya; f) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut
me-nentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; g)
memper-oleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; h)
memiliki ke-bebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; i) memiliki
kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; j) memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan
kompetensi; dan/atau k) memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam
bidangnya (UU No. 14/2005 Bab IV pasal 14).
Disamping
hak yang telah dikemukakan di atas, dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya
guru Indonesia berkewajiban: a) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni; c) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertim-bangan
jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar
belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; d) menjun-jung tinggi peraturan
perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika; dan e) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa (UU No.
14/2005 Bab IV pasal 20).
Pada
abad 21 guru, menurut Gerstner (1995), tidak lagi tampil sebagai pengajar
sebagaimana fungsinya selama ini, melainkan sebagai pelatih, konselor, manajer belajar,
partisipan, pemimpin, dan pelajar. Sebagai pelatih, guru membantu dan mendorong
peserta didik untuk menguasai alat belajar, memotivasi untuk men-capai prestasi
dengan kerja keras, kerja sama, menghargai nilai belajar dan penge-tahuan.
Sebagai konselor, guru tidak hanya menjadi sahabat peserta didik, tetapi juga
teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat. Sebagai manajer belajar, guru membimbing, mengambil prakarsa,
menyampaikan ide-ide cerdas kepada peserta didik. Guru juga terlibat dalam
pembelajaran sebagai partisipan, tetapi tetap memim-pin jalannya pembelajaran. Pada
abad 21 bukan hanya peserta didik yang belajar, tetapi juga para guru, kepala
sekolah, bahkan semua stakeholder sekolah menjadi pembelajar.
Bagaimana
sosok ideal seorang guru? Ada beragam pandangan dalam melihat sosok ideal
seorang guru. Gerstner dkk. (1995) membedakan ciri ideal guru berdasarkan
kultur. Di Amerika ciri utama guru ideal adalah kepekaan dan kesabaran. Guru
diharapkan tampil sebagai seorang yang penuh prakarsa, inovatif, orisinal, dan
inventif. Resikonya adalah guru Amerika enggan meniru apa yang dilakukan guru
lain. Di Cina dan Jepang adalah kejelasan (mampu menjelaskan dan mudah dipa-hami)
dan kegairahan dalam berkomunikasi. Guru diharapkan tampil sebagai pelaku yang
terampil (skilled performer). Bagi Ki Hajar Dewantoro, guru ideal adalah
Ing ngarso sung tulodo Ing madyo mangun karso Tutwuri handayani (keteladanan,
prakarsa, dan motivasi). Di Indonesia guru ideal adalah guru yang memiliki ciri
guru profesional seperti diatur dalam Undang-undang Guru dan Dosen, yaitu
memiliki: kualifikasi akademik (minimal S1), kompetensi (pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesi), sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Guru
ideal sejatinya menjadi idola. Setiap peserta didik punya guru idola. Ada yang
mengidolakan gurunya karena guru itu cerdas. Ilmunya seperti mata air yang
mengalir tanpa henti. Memberikan sebanyak-banyaknya ilmu dengan ikhlas, tanpa pamrih.
Kehadirannya di kelas selalu dinanti dan membuat peserta didiknya merasa belajar sangat
menyenangkan. Ada kenikmatan tersendiri berada di kelas yang penuh keramahan
dan senyum. Peserta didik yang
lain mengidolakan gurunya karena guru itu simpatik, rendah hati, dan menebar
senyum sambil menyapa dengan ramah. Gaya bicaranya selalu menyejukkan hati.
Sabar ketika menemukan peserta didiknya bandel. Ada pula yang mengidolakan gurunya
karena guru itu memiliki keperibadian khas, unik. tegas tetapi rendah hati.
Matanya bisa merah menyala dengan suara meng-gelegar ketika membela kebenaran.
Tetapi air matanya bisa dengan mudah menetes tanpa malu ketika hatinya
tersentuh.
Pertanyaannya
adalah apakah Anda dan Saya termasuk salah satu pendidik yang berbahagia diidolakan oleh peserta didiknya?
Untuk menjawab ini, kita perlu selalu introspeksi dan mengevaluasi diri pada
kelompok mana kita berada. LonAnne
Johnson membagi
guru menjadi tiga yaitu guru Super,
guru Excellent, dan guru Good. Guru Super yaitu guru yang
menikmati hubungan yang solid dengan murid-nya. Pada saat menjalankan tugasnya,
ia merasakan sensasi ketagihan kerja. Guru Excelent adalah guru yang
menikmati pekerjaannya tetapi membatasi jumlah waktu dan energi yang dibaktikan
untuk mengajar. Ia peduli dan melakukan yang terbaik bagi siswanya tetapi tidak
melupakan, apalagi mengorbankan kebutuhan keluarga. Guru Good adalah
guru yang bekerja baik tetapi memahami batasan tugasnya. Ia membuat batasan
yang jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi.
Sementara
itu, Rani Pardini mengemukakan
tiga model guru yaitu guru Okupasional,
guru Profesional, dan guru Vokasional. Guru Okupasional
adalah guru yang menjalani profesinya hanya sekedarnya. Guru seperti ini tidak
peduli dan tidak memperhatikan anak didiknya. Guru Profesional adalah
guru yang memiliki tang-gung jawab lebih dan memenuhi kualifikasi dan
kompetensi sesuai standar yang di-persyaratkan undang-undang. Guru Vokasional
adalah guru yang menjalani profesi-nya sebagai sebuah panggilan (calling)
sehingga menjalani tugasnya dengan antusias-me, passion, dan penuh
komitmen serta terus mengembangkan diri dan meningkatkan mutu profesinya.
Menurut Lina Erlian Muksin, Psikolog Anak,
guru idola memiliki tiga hal yaitu head,
heart, dan hand. Head
berarti guru itu memiliki kompetensi, wawasan yang luas, dan innovasi. Heart
berarti bahwa dalam menyampaikan pelajaran guru itu harus melayani dengan hati,
selalu berempati, dan penuh kehangatan. Hand berarti guru itu memiliki
keterbukaan, dan sifat humoris. Tulisan ini, maaf, tidak bermaksud
menggurui para guru. Saya yakin bahwa para guru Indonesia sangat memahami tugas
dan tanggung jawabnya. Semua yang dikemukakan di atas sebenarnya sudah sangat
akrab dan telah dipahami oleh para guru. Tetapi seperti kata A.L. Huxley:
‘Hidup yang besar bukanlah pengetahuan melainkan perbuatan’. Di Era generasi
Digital ini hanya ada satu tantangan yang harus didobrak oleh para guru
Indonesia yaitu kemau-an. Kemauan untuk berubah dan bertindak.
Pesatnya
arus globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut peru-bahan sikap dan
pola pikir pelaku pendidikan, terutama guru Indonesia. Knowledge to elevate, begitu tulisan yang tertera di bawah logo
MetroTV yang selalu menggoda perhatian saya dan seharusnya menggoda guru untuk
tergerak dan tidak sekedar ber-diri di atas elevator,
tetapi berlari cepat agar tidak tertinggal jauh dari iptek. Kita ha-rus selalu
mau berubah. Kurikulum berubah mengikuti perubahan zaman. Model pembelajaran
harus berubah mengikuti tuntutan generasi kritis yang selalu berkata “why”.
Media pembelajaran harus berubah mengikuti tuntutan arus globalisasi. Guru
harus selalu berubah, kreatif, inovatif sehingga suasana belajar akan terjalin
lebih hidup, akrab dan menyenangkan agar peserta didik bisa mencapai potensi
terbaiknya. Dengan demikian, mereka akan betah di sekolah tanpa harus
merepotkan Satpol PP merazianya di sudut-sudut jalan atau di pasar sebagaimana
yang sering terjadi di beberapa kabupaten/kota yang masih mengalami kesenjangan
digital.
Pendidikan
pada dasarnya proses perubahan kehidupan. Sekarang saatnya menengok kembali
sambil menarik napas yang dalam, merenung, memikirkan ulang apa yang mengubah
anak didik dalam kehidupan sekolah. Bagi Eric Jensen (2010), penulis buku ‘Super Teaching’,
relasi dan kepedulian yang membantunya menikmati pelajaran bahasa
Inggeris dan model peran. Dalam pembelajaran yang paling berke-san dan diingat
siswa adalah emosi. Emosi mempengaruhi keyakinan, keputusan, dan aksi yang
dipilih terkait masa depan. Efek yang ditimbulkan emosi tetap bertahan.
Kekuatan dari memori
emosional langsung terjadi dan mengalir secara spiral ke dalam masa depan,
mempengaruhi proses pengambilan keputusan, kata Eric Jensen (2010). Jadi,
jangan sampai ada peserta didik merasa dipermalukan atau direndahkan oleh guru
di depan kelas karena insiden itu bisa meninggalkan kesan buruk yang akan
langsung mempengaruhi pikiran, perilaku, dan kepribadiannya yang berakibat
fatal bagi keputusan masa depannya. Sudah saatnya memikirkan visi serta apa
yang sepatutnya ditampilkan dalam melakukan karya pendidikan dalam kehidupan
sekolah. Tentu, diperlukan cara berpikir baru dan cara pandang baru dalam
mengantisipasi tuntutan arus globalisasi di Era Generasi Digital ini. Ada
baiknya mempertimbangkan nasehat Albert Einstein: ‘Kita harus belajar untuk
melihat dunia dengan cara baru’.
3.
Pemberdayaan
Guru
Upaya pengembangan kurikulum
memerlukan pemberdayaan sumber daya manusia guru. Jane Smith (dalam Wibowo, 2011b: 417-418) memandang bahwa ada dua hal yang
menyebabkan perlunya pemberdayaan: 1) lingkungan eksternal telah berubah karena
kompetisi yang semakin intensif, inovasi teknologi berubah cepat, permintaan
atas kualitas dan nilai yang lebih tinggi, dan masalah ekologi; dan 2) orangnya
sendiri berubah. Pemberdayaan penting
dilakukan agar setiap guru merasa dirinya sebagai bagian dan turut serta dalam
proses perubahan ke arah peningkatan mutu pendidikan. Memberdayakan guru
berarti mendorong mereka menjadi lebih terlibat dalam keputusan dan aktivitas
yang memengaruhi pekerjaan mereka sehingga mereka mendapat kesempatan untuk
menunjukkan bahwa mereka mampu memberi-kan gagasan yang baik dan terampil
mewujudkan gagasannya menjadi realitas.
Lebih dari itu, diperlukan pula
sinergi dalam lingkungan yang memperkuat partisipasi. Upaya pengembangan
kinerja guru tidak hanya dilakukan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah,
tetapi juga dapat dilakukan oleh guru itu sendiri atau sekelompok guru secara
kolaboratif dan berkesinambungan melakukan kegiat-an yang dapat mendorong terbentuknya
komunitas belajar untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI
pasal 40 ayat 2 ditegaskan bahwa pendi-dik dan tenaga kependidikan
berkewajiban: a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan,
kreatif, dinamis, dan dialogis; b) mempunyai komitmen secara profesional untuk
meningkatkan mutu pendidikan; dan c) memberi teladan dan menjaga nama baik
lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
kepadanya. Kesadaran dan partisipasi guru, melalui pemberdayaan, dalam
mewujudkan pendidikan bermutu tentunya sangat dibutuhkan. Apalagi, dalam
kondisi inisiatif pemerintah dan pemerintah daerah untuk program peningkatan
mutu guru masih lebih dalam tataran wacana dari pada implementasi.
Dalam
rangka pemberdayaan guru, ada baiknya melihat model pengem-bangan kinerja guru
yang dikemukakan oleh Uhar Suharsaputra. Uhar Suharsaputra (2010: 218-219)
mengajukan suatu model pengembangan kinerja guru berbasis kompetensi melalui
pendekatan individu serta pendekatan organisasi dan manajemen. Pendekatan
individu menekankan pada penguatan individu dalam meningkatkan ke-mampuan serta
motivasi tanpa mengintegrasikannya dengan organisasi dan manaje-men organisasi.
Pendekatan organisasi dan manjemen merupakan pendekatan ter-integrasi dimana
aspek individu menjadi bagian yang berinteraksi dengan tataran ke-lompok dan
organisasi secara keseluruhan serta proses manajemen dan kepemim-pinan sebagai
penggerak organisasi.
Ada sejumlah kegiatan pemberdayaan yang mendukung upaya
peningkatan mutu guru, antara lain: Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan Lesson Study. Penelitian Tindakan Kelas (PTK),
menurut Suharsimi Arikunto dkk. (2011:3), merupakan suatu pencermatan terhadap
kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi
dalam sebuah kelas secara bersama. PTK adalah kegiatan ilmiah sehingga laporan
hasil PTK merupakan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang menjadi salah satu aspek pengembangan
profesi guru. Sayangnya, PTK belum menjadi tradisi yang menggembirakan di
sekolah. Padahal, melalui PTK guru dapat berlatih berpikir kritis, tanggap
terhadap berbagai perubahan, dan memupuk kemampuan menyelesaikan masalah.
Lesson
study sudah
berkembang di Jepang sejak awal 1900an. Melalui kegi-atan tersebut guru-guru di
Jepang mengkaji pembelajaran melalui perencanaan dan observasi bersama yang
bertujuan untuk memotivasi peserta didiknya aktif belajar mandiri. Lesson
Study merupakan terjemahan langsung dari bahasa Jepang jugyo-kenkyu,
dari dua kata jugyo berarti lesson atau pembelajaran, dan kenkyu
berarti study atau research atau pengkajian. Lesson study merupakan
study atau penelitian atau pengkajian terhadap pembelajaran. Lesson
study dapat diselenggarakan oleh kelom-pok guru di suatu sekolah/Lesson
study berbasis sekolah dan dapat pula diselengga-rakan oleh kelompok guru
mata pelajaran serumpun dalam MGMP/Lesson study berbasis MGMP (Rusman,
2010: 384-388).
C.
Penutup
Ada beberapa kata kunci mengapa peningkatan mutu guru penting di
tengah perubahan kurikulum, sebagai berikut:
1.
Guru sebagai salah satu agen perubahan
dan elemen kunci dalam sistem pendi-dikan, khususnya di sekolah, seyogyanya
proaktif dalam mengantisipasi peru-bahan kurikulum.
2.
Pemerintah dan pemerintah daerah serta
perguruan tinggi pencetak guru juga diharapkan cepat tanggap merespon perubahan
dalam rangka peningkatan mutu guru dan calon guru.
*)
Penulis adalah Dosen mata kuliah Administrasi Pendidikan dan Supervisi
Pendidikan pada IAIN
Palopo.
Daftar Rujukan
Arikunto, Suharsimi, dkk., Penelitian
Tindakan Kelas. Cet. X; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.
Armstrong,
Thomas. Sekolah Para Juara. Bandung: Kaifa, 2002.
_______
. Kamu Itu Lebih Cerdas daripada yang Kamu Duga. Batam: Interaksara,
2004.
_______
. Setiap Anak Cerdas. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005.
_______
. The Best School. Bandung: Kaifa, 2006.
Chatib, Munif. Gurunya Manusia:
Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Cet. III; Bandung,
2011.
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah
Singer-Nourie, Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di
Ruang-ruang Kelas (Cet. II; Bandung: Kaifa, 2010.
Direktorat Pembinaan SMP Ditjen
Dikdasmen Depdiknas. Panduan Pengembangan RPP, Jakarta: Depdiknas, 2006.
Direktorat Pembinaan SMP Ditjen
Dikdasmen Depdiknas, Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar, Jakarta:
Depdiknas, 2006.
Hamalik, Oemar. Model-model
Pengembangan Kurikulum(Bandung: Program Pasca Sarjana UPI, 2000.
Haryanto. Perencanaan Pengajaran.
Jakarta: Tineka Cipta, 2003.
_______. Pendidikan Guru Berdasarkan
Pendekatan Kompetensi. Bandung: Alfabeta, 2002.
Jensen, Eric. Guru Super & Super
Teaching, Lebih dari 1000 Strategi Praktis Pengajaran Super. Terj. Benyamin
Molan, Jakarta Barat: PT. Indeks Permata Puri Media, 2010.
Gerstner, L.V. et al. Reinventing
Education: Entrepreneurship in America’s Public Schools. New York: Plume,
1995.
Muhaimin. Rekonstruksi
Pendidikan Islam, Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum
hingga Strategi Pembelajaran. Ed. 1, Cet. 1; Jakarta: Rajawali Pers,
2009.
Noe, Raymond A, John R. Hollenbeck,
Barry Gerhart, Patrick M. Wright. Human Resource Management: Gaining A
Competitive Advantage, terj. David Wijaya, 6th ed. Jakarta
Selatan: Salemba Empat, 2011.
Republik Indonesia. Peraturan
Pemerintah R.I. Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
_______ . Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
_______ . Undang-Undang R.I.
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Rivai, Veithzal, Deddy Mulyadi. Kepemimpinan
dan Perilaku Organisasi, ed. 3. Cet. 9; Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Rusman. Model-model
Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, ed. 1. Cet. 1; Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Smith, Jane. Empowering People. London:
Kogan Page Limited, 2000.
Suharsaputra, Uhar. Administrasi
Pendidikan. Cet, I; Bandung: PT. Refika Aditama, 2010.
Supriadi, Dedi. Mengangkat Citra dan
Martabat Guru. Cet. 1; Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998.
Wibowo.
Manajemen Kinerja. Ed. III. Cet. V; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011a.
_______. Manajemen Perubahan. Ed. 3. Cet. 3; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2011b.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar