Kamis, 28 Januari 2016

INTERAKSI SOSIAL DALAM KEHIDUPAN SEKOLAH
Oleh: Hilal Mahmud*
Abstrak: Akselarasi perubahan sosial menawarkan tantangan bagi dunia pendidikan sehingga membutuhkan perhatian serius pengelola pendidikan untuk mempertimbangkan interaksi sosial sebagai aspek penting dalam kehidupan sekolah. Interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sekolah dapat menim-bulkan dua golongan proses sosial, yaitu proses sosial assosiatif (saling pengertian dan kerjasama) dan proses sosial dissosiatif (perlawanan, persaingan, pertentangan konsep, dan konflik) yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok dalam proses sosial dalam kehidupan sekolah. Kedua golongan proses sosial tersebut patut menjadi pertimbangan dalam menyusun dan menetapkan strategi yang tepat dalam pembelajaran.
Kata Kunci: Interaksi Sosial, Kehidupan Sekolah

A.    PENDAHULUAN
Dunia pendidikan saat ini betul-betul telah mengalami akselarasi perubahan sosial yang makin sulit dihadapi sebagaimana yang telah “diramalkan” Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock. Bahkan Daniel H. Pink (2009) dalam bukunya, A Whole New Mind, menyiratkan bahwa abad ini segera akan bergeser ke Abad Konseptual yang sudah barang tentu menawarkan tantangannya tersendiri. Institusi sekolah pada Abad 21 yang juga dikenal dengan Abad Informasi ini memang telah mengalami kegoncangan dan terperangkap dalam krisis yang oleh Alvin Toffler dalam Previews and Premises sebut krisis Gelombang Ketiga (The Third Wave)(1988:12-13). Yang mengenaskan banyak pihak adalah suasana sekolah kita tidak lagi kondusif bagi generasi yang oleh Jemy V. Confide disebut sebagai Digital Native. Digital Native adalah generasi yang sangat fasih dengan bahasa global dan sangat akrab dengan informasi dan pengetahuan global melalui internet. Generasi digital ini memerlukan suasana kondusif yang memungkinkan mereka mendapat energi besar untuk terdorong dan betah belajar di sekolah. Diperlukan interaksi sosial dalam kehidupan sekolah yang mampu menginspirasi mereka untuk terus belajar dalam dunia mereka, dunia digital. Kehidupan sekolah yang bisa membekali peserta didik dengan tuntutan kecakapan yang diperlukan Abad 21 ini. Kehidupan sekolah yang peserta didik dan pendidiknya sangat berminat, cakap dan menikmati belajar.
Kehidupan sekolah semacam ini bisa diwujudkan dengan mengembangkan kehidupan sekolah yang disebut Sekolah Pembelajar (The Learning School).The Learning School atau Sekolah Pembelajar menjadikan belajar sebagai hakikat keberadaannya. The learning School mendapatkan makna keberadaannya dari belajar, sehingga hal utama di sekolah adalah seputar belajar. Dalam the learning school, setiap orang adalah pembelajar. Peserta didik, pendidik, kepala sekolah dan stake-holdernya adalah pembelajar. Menjadi cita-cita setiap orang di sekolah untuk menjadi efisien dan efektif dalam belajar dan belajar cara belajar bersama. ‘Efisien’ artinya warga sekolah menjadi sangat asyik belajar dan belajar dengan cepat. ‘Efektif’ artinya warga sekolah belajar dengan pemahaman yang mendalam dan mempraktikkannya (Suharsaputra, 2010: 22-32). Dalam sekolah pembelajar warga sekolah benar-benar berhasrat belajar dan mendapat kesenangan serta kepuasan dalam belajar. Sekolah memberi fokus membangun budaya belajar dalam kehidupan sekolah serta menciptakan iklim interaksi sosial yang membangun warga sekolah memiliki persepsi yang sama bahwa keberhasilan dan prestasi sebagai konsekuensi logis dari kehidupan sekolah pembelajar bukan sebagai tujuan.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan tempat terjadinya proses pembelajaran,  memerlukan bukan hanya kebijakan manajemen tetapi juga kepemimpinan kepala sekolah yang dapat memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi. Untuk itu perlu dibangun interaksi antar warga sekolah yang kondusif bagi berkembangnya kebebasan berekspresi dan bertumbuhnya sinergitas diantara berbagai pihak yang terlibat dalam organisasi sekolah sehingga kreativitas mereka dapat berkontribusi bagi berkembangnya inovasi dalam suatu interaksi yang intens dalam kehidupan sekolah. Strategi yang dilaksanakan berfokus pada dimensi kultural dengan tekanan pada perubahan perilaku nyata dalam bentuk tindakan. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran dialektika Hegel yang melihat dunia sebagai bagian yang berhubungan satu dengan lainnya seperti yang Jurgen Habermas sebut sebagai tindakan komunikatif, oleh Comte dengan social dynamic, kesadaran kolektif oleh Durkheim, dan interaksi sosial oleh Marx (Burhan Bungin, 2009: 18-19).
Interaksi sosial dalam kehidupan sekolah menarik untuk dikaji karena dua alasan. Pertama, berbagai upaya telah dilaksanakan untuk membangun budaya belajar dalam kehidupan sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, termasuk penerapan strategi yang berfokus pada dimensi struktural dengan berbagai program aksi seperti penataan manajemen sekolah, pelatihan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, penambahan fasilitas belajar, namun hasilnya belum banyak membawa perubahan. Kedua, berbagai pengalaman dan hasil penelitian di dunia bisnis dan pendidikan memberikan tanda bahwa kultur unit-unit pelaksana kegiatan menjadi faktor penentu dalam meningkatkan kualitas pendidikan (Direktorat Pendidikan Menengah Umum Dirjen Dikdasmen Depdiknas, 2004: 1).  
B.     PEMBAHASAN
1.      Interaksi Sosial dan Konflik
Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2002: 62). Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication).  Kontak sosial yang terjadi pada warga sekolah tidak hanya secara langsung (kontak sosial primer) tetapi juga melalui perantara baik sifatnya manusiawi maupun teknologi (kontak sosial sekunder). Yang terpenting dalam komunikasi, disamping  sumber informasi( receiver), saluran (media), dan penerima informasi (audience),  juga aktivitas memaknakan informasi yang disampaikan oleh sumber informasi dan pemaknaan yang dibuat oleh audience terhadap informasi yang diterimanya itu (Bungin, 2009: 57-58).
Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus) yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa (Susan, 2010: 8).  Konflik dalam kamus berarti perecekcokan, perselisihan, pertentangan (1997: 518). Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia karena konflik memiliki fungsi positif (George Simmel, 1918; Lewis Coser, 1957), konflik menjadi dinamika sejarah manusia (Karl Marx, 1880; Ibnu Khaldun, 1332-1406), konflik menjadi entitas hubungan sosial (Max Weber, 1918/1947; Ralf Dahrendorf, 1959), dan konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Maslow, 1954; Max Neef, 1987; John Burton, 1990, Marshal Rosenberg, 2003).
Sejarah peradaban manusia selalu diwarnai berbagai konflik kepentingan yang, tentu saja, menimbulkan korban. Konflik pertama dalam sejarah peradaban manusia adalah konflik antara Qabil dan Habil yang berakhir pada pembunuhan anak manusia pertama. Tidak dapat dipungkiri, konflik selalu mewarnai dinamika kehidupan manusia. Pertentangan ideologi, agama, suku, dan bangsa telah menimbulkan korban jiwa dan harta, bahkan mengarah kepada penghancuran peradaban. Dalam catatan sejarah, konflik sering diikuti aksi kekerasan, pembantaian, bahkan perang. Konflik yang terjadi di Poso, Ambon, Papua, Kalimantan, Mambi Sulawesi Barat, dan Baebunta Luwu Utara memberikan pembenaran terhadap pernyataan ini. Bahkan dalam skala dunia, pembenaran atas pernyataan ini ditunjukkan oleh pembantaian dan penghancuran peradaban bangsa Inca ketika invasi Spanyol ke benua Amerika pada abad 14, dan benturan kekerasan antar etnis Serbia terhadap etnis Bosnia di bekas Negara pecahan Yugoslavia. Demikian pula pembantaian missal etnis Hutu terhadap etnis minoritas Tutsi pada tahun 1994 (Susan, 2010: 9). Namun menurut Lewis Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif, tetapi juga memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya. Konflik yang bisa dikelola dengan arif dan bijaksana akan mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan. Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran atau fungsi positif dalam masyarakat. Menurut Coser, konflik membuat batasan-batasan diatara dua kelompok dalam system sosial dengan memperkuat kesadaran dan kesadaran kembali atas keterpisahan sehingga menciptakan kesadaran identitas kelompok dalam system (Susan, 2010: 59-60).
Konflik yang terjadi melalui tahapan prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat, dan pasca konflik (Fisher, 2000: 19). Prakonflik adalah priode pada saat terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik. Konfrontasi merupakan tahapan dimana hanya satu pihak yang merasa ada masalah yang memungkinkan para pendukungnya melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontasi. Krisis adalah puncak konflik dimana konflik pecah menjadi bentuk aksi-aksi kekerasan yang dilakukan secara intens dan massal. Dan tahap pasca konflik adalah situasi ketika konflik diakhiri, ketegangan berkurang, dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua belah pihak yang bertikai.
Pasca konflik bisa juga disebut sebagai tahapan deeskalasi konflik kekerasan. Deeskalasi konflik kekerasan bisa terjadi karena beberapa factor. Pertama, kedua belah pihak berkonflik menemukan pemecahan masalah dari konflik, sebagaimana penyelesaian konflik separatis GAM di Aceh. Kedua, salah satu pihak mengalami kekalahan luar biasa sehingga tidak memiliki kemampuan melanjutkan konflik, seperti kekalahan Saddam Husein di Irak atas invasi Amerika Serikat. Ketiga, semua pihak mengalami kehancuran dan tidak mampu melanjutkan konflik. Keempat, pihak berkonflik menghentikan sementara waktu konflik untuk menyusun strategi selanjutnya.
Dengan menganalisis dinamika konflik, bisa ditemukan langkah yang tepat untuk mengintervensi konflik. Intervensi konflik berarti masuk kedalam sistem hubungan yang sedang berlangsung, melakukan kontak di antara dua pihak atau beberapa pihak untuk membantu mereka (Moore, 2003). Ada beberapa bentuk dan tingkatan konflik. Pertama, peace making (menciptakan perdamaian). Kedua, peace keeping (menjaga perdamaian). Ketiga, conflict management (pengelolaan konflik) dalam bentuk negosiasi, mediasi, penyelesaian jalur hukum, arbitrase, dan workshop pemecahan masalah. Keempat, peace building (pembangunan perdamaian) yang merupakan proses peningkatan kesejahteraan, pembangunan infra struktur, dan rekonsiliasi seluruh pihak bertikai (Susan, 2010: 104).
2.      Interaksi Sosial dalam Kehidupan Sekolah
Habermas memahami masyarakat dalam paradigm ganda, yaitu sistem dan dunia-kehidupan. Sistem merupakan suatu keseluruhan jaringan fungsional objektif yang unsur-unsurnya saling tergantung satu sama lain secara kausal. Dunia-kehidupan (Lebenswelt) adalah hasil keterlibatan intersubjektif, sebuah horizon sosial yang bagaimanapun berubah dan berkembang dari waktu ke waktu dan terkait dengan konteks. Dunia–kehidupan mencakup kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian. Kebudayaan dipahami sebagai kumpulan pengetahuan sebagai acuan interpretasi individu dalaqm mencapai pemahaman tentang sesuatu. Masyarakat dipahami sebagai tatanan-tatanan yang sah yang menjadi wadah interaksi bermakna dan dengan demikian menjamin solidaritas para anggotanya. Kepribadian dipahami sebagai kompetensi-kompetensi yang memungkinkan subjek untuk berbicara dan bertindak dalam konteks komunikasi dan dengan cara itu dia menegaskan jati dirinya (Habermas, 1984: 142).
Dalam menjaga kelangsungan hidup dan identitasnya, masyarakat melangsung-kan proses-proses reproduksi dalam dunia-kehidupan yang mencakup tiga fungsi, yaitu reproduksi kultural, integrasi sosial, dan sosialisasi (Habermas, 1984: 140). Reproduksi kultural adalah proses-proses yang menjamin kontinuitas tradisi dan koherensi pengetahuan praktis sehari-hari yang diukur dengan rasionalitas pengetahuan yang dianggap sahih.atau dengan kata lain dicapai dengan konsesnsus. Integrasi sosial merupakan proses-proses yang memelihara koordinasi tindakan-tindakan sosial dengan menata hubungan antarpribadi dan dengan menstabilkan identitas kelompok-kelompok sejauh memadai bagi praktik hidup sehari-hari.yang diukur melalui solidaritas diantara para anggota masyarakat. Sosialisasi adalah proses-proses yang menjamin generasi demi generasi mencapai kompetensi-kompetensi umum bagi tindakan mereka sehingga mereka memandang sejarah hidup individual mereka selaras dengan bentuk kehidupan kolektif mereka yang diukur dengan tanggungjawab pribadi-pribadi itu,
Beberapa gangguan proses-proses reproduksi dalam dunia-kehidupan muncul pada tiga fungsi reproduksi (Habermas, 1984: 143). Jika wilayah reproduksi kultural terganggu maka akan memunculkan krisis kebudayaan dalam bentuk hilangnya makna, krisis sosial dalam bentuk krisis legitimasi, krisis kepribadian dalam bentuk krisis orientasi. Jika wilayah integrasi sosial terganggu maka akan  muncul krisis kebudayaan dalam bentuk rasa ketidakpastian akan identitas kolektif, krisis social dalam bentuk anomi, dan krisis kepribadian dalam bentuk alienasi. Jika wilayah sosialisasi terganggu maka akan muncul krisis kebudayaan dalam bentuk keterputusan dengan tradisi, krisis sosial dalam bentuk krisis motivasi, dan krisis kepribadian dalam bentuk psikopatologi (sakit jiwa).
Kehidupan sekolah merupakan kehidupan sosial yang dinamis seperti yang August Comte  sebut sebagai social dynamic. Kehidupan sekolah merupakan bentuk kehidupan sosial dimana warga sekolah hidup bersama dalam  kelompok untuk memenuhi naluri manusia sebagai makhluk social. Kehidupan sekolah mengalami proses  sosial dimana warga sekolah bertemu, berinteraksi, dan berkomunikasi sehingga melahirkan sistem sosial dan pranata social serta semua aspek kebudayaan (Bungin, 2009: 55). Dalam kehidupan sekolah terjadi pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama yang oleh Soerjono Soekamto sebut sebagai  proses sosial (Soekanto, 2002: 66). Proses sosial ini kemudian mengalami dinamika secara terus menerus mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.
Interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sekolah dapat menimbulkan dua golongan proses sosial, yaitu proses sosial assosiatif dan proses sosial dissosiatif. Proses assosiatif adalah suatu proses yang terjadi saling pengertian dan kerjasama (gotong royong, bargaining, cooptation, coalition, joint-venture), timbal balik antara warga sekolah, orang perorang atau kelompok satu dengan yang lainnya serta akomodasi (coercion, comproimise,, mediation,, conciliation, toleration,, stalemate, adjudication), dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan-tujuan bersama.  Proses disosiatif merupakan proses perlawanan atau oposisi (persaingan/competition, pertentangan konsep/controversion, dan conflict) yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok dalam proses sosial diantara mereka pada suatu masyarakat ((Soekanto, 2002: 71-104).
Kimball Young dan Raymond, W. Mack dalam Sociology and Social Life mengemukakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sekolah, bahkan tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama (1959: 137). Dalam kehidupan sekolah, terutama dalam kegiatan pembelajaran, interaksi sosial dapat dibangun dengan mempromosikan kegiatan pembelajaran dalam kelompok. Secara sosio-logis, istilah kelompok berarti suatu kumpulan orang-orang yang saling berinteraksi satu sama lain, baik antar individu, individu dengan kelompok, maupun antar kelompok. Interaksi yang dibangun tersebut diharapkan dapat mengarah kepada interaksi edukatif yang mampu mengembangkan potensi peserta didik dalam kehidupan sekolah. Interaksi edukatif merupakan salah satu aspek yang sering diabaikan dalam kehidupan sekolah. Para pendidik sering lebih fokus pada upaya peningkatan mutu akademik peserta didik. Hal ini sulit dihindari oleh para pendidik di sekolah karena sistem penilaian selama ini lebih menekankan pada aspek akademik dan mengabaikan aspek sosial dan spiritual. Harapan baru kemudian lahir seiring diberlakukannya kurikulum 2013 yang menem-patkan Kompetensi Inti (1) Sikap Spiritual dan Kompetensi Inti (2) Sikap Sosial pada posisi utama dan penting sebelum Kompetensi Inti (3) Pengetahuan dan Kompetensi Inti (4) Keterampilan.
Interaksi edukatif dalam kehidupan sekolah diharapkan bisa dicapai melalui kesadaran penuh pendidik bahwa tugas mendidik merupakan tugas mulia dan komprehensif. Mendidik berarti menunjukkan keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan sekolah. Kepribadian atau karakter kuat pendidik dalam pembelajaran sangat menentukan keberhasilannya dalam pembelajaran. Disamping itu, interaksi edukatif juga ditentukan oleh kompetensi dan profesionalitas tenaga pendidik dalam pembelajaran. Thomas Gordon mengemuka-kan bahwa dalam upaya membangun interaksi edukatif yang lebih efektif, pendidik membutuhkan keterampilan berkomunikasi agar mampu berinteraksi secara edukatif, mengembangkan potensi peserta didik baik individu maupun kelompok (1997: 3).

C.     PENUTUP
Ada beberapa kata kunci yang dapat dikemukakan disini berkaitan dengan interaksi sosial dalam kehidupan sekolah, sebagai berikut:
1.      Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia melalui kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication),  baik secara langsung (kontak sosial primer) maupun melalui perantara baik sifatnya manusiawi maupun teknologi (kontak sosial sekunder).
2.       Interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sekolah dapat menimbulkan dua golongan proses sosial, yaitu proses sosial assosiatif (saling pengertian dan kerjasama) dan proses sosial dissosiatif (perlawanan, persaingan, pertentangan konsep, dan konflik) yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok dalam proses sosial dalam kehidupan sekolah. Kedua golongan proses sosial tersebut patut menjadi pertimbangan dalam menyusun dan menetapkan strategi yang tepat dalam pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Qur’an al-Karim.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984.
Arifin, H.M. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Ashraf, Ali. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Firdaus, 1989.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999.
Badruzzaman, Rosdiana, H, Siradjuddin Ismail, dan Mujizatullah. Implementasi Pendidikan Agama di Daerah Pasca Konflik. Cet. I; Makassar: Cahaya Mujur Lestari, 2009.
Bloom, Benjamin S. Taxonomy of Educational Objectives Handbook, I: Cognitive Domain. New York: Longman Inc., 1956.
Buchori, Mochtar. “Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan,” dalam M. Dawam Rahardjo. Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989.
Bucher, Charles A. Foundations of Physical Education. Saint Louis: The C.V. Mosby Company, 1975.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik. Dan Ilmu Sosial Lainnya. Ed. 1, Cet. 4; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Cronbach, Lee J. Educatioonal Psychology. New York: Hartcourt Brace  Jovanovich, 1977.
Daniel O’leary and Susan G O’leary. Classroom Management. New York: Pergamon Press Inc., 1972.
Darwis, Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam, Sejarah, Ragam, dan Kelembagaan. Cet. II; Semarang: RaSAIL, 2010.
Djohar. Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Lesfi, 2003.
Endrotomo. Masalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Surabaya: P3AI ITS, 2004.
Gillin, John Lewis Philip Gillin. Cultural Sociology. New York: The MacMillan Company, 1952.
Fisher, Simon. Manajemen Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: British Council, 2000.
Fowler, H.W. and F.G. Fowler, The Coincise Oxford Dictionary of Current English. Fourth Ed., London: Oxford University Press, 1958.
Fromm, Erich. Psychoanalysis and Religion. New Haven & London: Yale University, 1976.
Fullan, Michael. The Meanoing of Educational Change. USA: OISE Press, The Ontario Institute for Studies in Education, 1982.
Gordon, Thomas. Menjadi Guru Efektif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Hasan, Muhammad Tolchah. Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press, 2006.
Hopkins & Wideen. Alternative Perspectives on School Improvement. London and New York: The Falmer Press, 1984.
Jalal, Abdul Fattah. Azas-azas Pendidikan Islam. Terj. Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro, 1988.
Langgulung, Hasan. Azas-azas Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Husna, 1987.
Magee J. Philosophical Analysis in Education. New York: London Harper and Row Boston, 1971.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif,1989.
Maslow, Abraham H. “A Theory of Human Motivation” , dalam Robert V. Githrie (ed), Psychology of the World Today, An Interdiciplinary Approach. California: Addison-Wesley Publishing Company, 1971.
Moore, Christoper W. Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflct. USA: Jossey-Bass, 2003.
Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Ed. 1; Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2009.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasiopnal Pendidikan.
Razmal, Abdul Muin. 2001. “Konflik Sosial Antara Masyarakat Rongkong dan Baebunta di Kecamatan Baebunta Kabupaten Luwu Utara.” Thesis Pasca Sarjana, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Makassar.
Quthb, Muhammad. Sistem Pendidikan Islam. Terj. Salman Harun, Bandung: Al-Ma’arif, 1988.
Sergiovanni, T.J. The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacons, Inc., 1987.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Cet. 21; Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Soekarno dan Ahmad Supandi. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa. 1985.
Sumartana, Th. “Pluralisme, Konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan Antar Agama di Indonesia”, dalam Th. Sumartana, dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Cet. I;  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Surakhmad, Winarno. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan). Cet.1; Bandung: CV. Mandar Maju, 1994.
Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Cet. ke-2; Jakarta: Kencana, 2010.
Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. Ketiga; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera Indonesia, 1998.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. Kedua,  Cet. kesembilanbelas; Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Watt, W.M. Islamic Philosophy and Theology. Edinburg: The University Press, 1979.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar